Kamis, 25 Maret 2010

HAKIM MASIH MULIAKAH???



Sejak kecil saya sangat tertarik memperhatikan sosok seorang hakim, berpakaian yang rapih, jubah panjang merah hitam dan tampak berwibawa. Apabila berjalan sambil membawa beberapa tumpukan berkas di tangannya makin salutlah melihat penampilannya. Mungkin itu salah satu yang menjadi daya tarik bagiku untuk masuk ke belantara hukum ini.
Tapi setelah aku mencoba mendalami beberapa tahun pendidikan di salah satu Fakultas Hukum “terbaik” di bangsa ini tiba-tiba pemahaman gambaranku terhadap hakim berubah drastis. Hakim itu ternyata tidak seperti sosok yang kugambarkan sebelumnya. Hakim dan lembaga peradilan sudah dijangkiti virus-virus “markus” yang sangat cepat mutasi dan penyebarannya. Para virus markus ini berperanan dalam mengatur arah gerak perkara, mungkin akan tergantung besaran duit yang mereka terima. Akibatnya susah untuk mendapatkan sebuah keputusan hakim yang benar-benar fair. Uang menjadi borok yang semakin membusuk dalam institusi dan lembaga peradilan, namun anehnya mereka malah membiarkan borok itu berkembang hingga memiliki nanah yang sangat memuakkan baunya, bahkan tercium sampai ke luar tubuhnya. Seandainya borok itu ada dalam tubuhku maka akan sesegera mungkin kupecahkan dan kubuang, lalu kuobati kepada dokter yang paling ahli hingga benar-benar tidak berbekas lagi. Tapi borok itu ada di tubuh mereka (kehakiman, hakim), apa daya yang bisa kuperbuat?



Saya sangat salut kepada Bapak Asep, dosen favoriteku yang mengajar Hukum Acara Perdata beberapa tahun yang lalu. Beliau adalah mantan hakim di PN Tangerang, dan beliau memilih ke luar dari Hakim karena merasa tidak nyaman, muak dan mual dengan institusi yang sangat ia cintai tapi penuh dengan mafia. Beliau adalah hakim pertama yang “berani” menjatuhkan hukuman mati di pengadilan tipikor. Seharusnya kan pekerjaan sebagai hakim itu sungguh sangat agung dan mulia, bayangkan coba hakim sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini karena mereka yang memberikan keadilan kepada manusia yang melakukan kejahatan. Tapi melihat realita kondisi peradilan sekarang, engga ada yang dapat dibanggakan. Permainan hukum di peradilan telah dimulai dari tubuh kepolisian saat melakukan penyidikan hingga hakim yang menjatuhkan putusan, atau istilah lain peradilannya bisa diatur.
Saat di wawancarai di sebuah TV Swasta, Bapak Asep menceritakan bahwa beliau jengkel kepada atasannya karena hakim untuk dapat promosi susah, harus ada acara sungkem, sesajen, dll. Banyak hakim yang berlomba-lomba untuk mendapatkan penempatan di Jakarta karena biasanya banyak perkara yang besar di Jakarta, artinya semakin banyak uang yang masuk ke kantong pribadinya. Hampir semua ketua PN itu maruk uang, kata beliau lagi. Bahkan ada sebuah cerita, seorang hakim yang sedang mengalami sakit kritis dan mendapatkan perawatan di RS, masih sempet-sempetnya dia memesan agar dia yang menangani kasus besar yang saat itu sedang masuk ke pengadilan. Kurang ajar sekali tingkah lakunya, udahpun sakit kritis tapi pikirannya tetaaap aja sama duit kotor nan haram itu.
Bahkan saking sudah menjamurnya hakim-hakim nakal di pengadilan maka hakim yang mencoba untuk tetap berjalan di jalurnya justru di cemooh dan disingkirkan. Dibilang sok malaikatlah, sok suci, dan jadinya hubungan tidak enak sesama hakim. Itulah konsekuensi hakim yang”melawan arus”.



Naah disitulah tindakan tegas seorang pemimpin, memperhatikan secara keseluruhan institusinya. Kalau di bilang juga penghasilan hakim gag cukup sehingga mereka melakukan korup bukan alasan bagi saya. Kalau mau kaya jangan jadi hakim dong, jadi pedagang aja sanaa…


Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor