Isi tulisan ini adalah hasil pemikiran ketika saya mengikuti sebuah sesi pemberkatan nikah di sebuah gereja di Bandung dimana saya juga setiap minggunya bersekutu disana. Saat itu ada kakak kami dari NHKB yang menikah dan para Naposo di undang untuk mengikuti pemberkatan nikah dan menyumbangkan lagu puji-pujian.
Yang ingin saya utarakan adalah tentang khotbah pendetanya. Beliau mengatakan “Puji ma Jahowa”. Hidup adalah anugerah Tuhan sehingga dalam setiap detail kehidupan sudah selayaknya kita MemujiNya dan bersorak-sorai atas segala kebaikanNya yang kita terima. Beliau lagi mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik dan berkembang ke arah yang lebih baik. Menggambarkan bagaimana kita bisa belajar melalui pengalaman-pengalaman sehingga melalui pengalaman itu kita bisa memetik poin-poin kehidupan yang berguna bagi masa depan. Pengalaman selayaknya menjadi acuan kehidupan hari esok.
Manusia yang berkeyakinan pada Tuhan akan mengalami suatu kehidupan yang luar biasa. Berkeyakinan berarti mengakui Tuhan sebagai juru selamat dan satu-satunya Tuhan bagi kehidupan manusia dan yakin akan keberadaanNya walau secara kasat mata tidak kelihatan namun oleh dasar iman meyakini adanya Tuhan. Itulah kehidupan orang Kristen selaku pengikut Kristus dan selayaknya itu ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena yang sering terjadi adalah orang-orang setiap minggunya pergi ke gereja tetapi ketika balik dari gereja bukannya mengaplikasikan apa isi firman yang telah di dengar. Sepertinya firman itu berlalu begitu saja sehingga kegiatan ibadah itu sifatnya seremonial tanpa ada tindakan nyata. Orang Kristen harus mampu mengubah paradigma ini. Apalagi dalam sebuah mahligai rumah tangga yang baru terbentuk, karena keberadaan orang tua akan menjadi cerminan kelak bagi anak-anaknya. Sifat baik dan buruk dari orang tua akan menjadi perhatian utama para anak sehingga sepatutnya orang tua memberikan perilaku yang baik dan positif kepada anak-anaknya.
Kehidupan rumah tangga tidak selamanya akan mulus. Karena riak-riak dan gelombang kadangkala akan muncul dan menggoncang, namun disinilah sebenarnya keutuhan dan ketahanan rumah tangga itu diuji. Peranan suami sebagai kepala rumah tangga menjadi sangat dominan dan benar-benar teruji dalam kasus ini. Walaupun rumah tangga rajin dalam bersekutu dengan Tuhan dan mengajak anak-anaknya ke sekolah minggu bukan berarti tidak akan ada permasalahan keluarga yang timbul.
Manusia tidak akan bisa hidup kalau mengandalkan kekuatannya sendiri. Karena diatas kekuatan manusia masih ada kekuatan yang jauh lebih besar dan kita juga harus sadar bahwa kekuatan yang kita miliki adalah berasal dariNya juga. Kehidupan rumah tangga haruslah berandar pada Kuasa Tuhan dan selalu mendekat padaNya.
Sesungguhnya pernikahan adalah penderitaan karena selama ini seorang perempuan atau laki-laki masih dalam tanggungjawab orangtuanya, namun setelah pernikahan maka mereka harus mampu hidup mandiri. Secara keluarga maka permasalahan keluarga menjadi tanggungjawab masing-masing pihak. Tidak etis lagi jika permasalahan-permasalahan kecil dilaporkan kepada orangtua karena justru membuat bisa mengacaukan kehidupan rumah tangga yang baru terbentuk.
Setiap keluarga harus menyatakan kesediannya bersekutu dengan Tuhan
Selamat menjalani kehidupan baru..
Semoga menjadi keluarga yang takut akan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar