Minggu, 11 Oktober 2009

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

1. Pengertian Istilah
Istilah perbuatan melanggar hukum dikenal dalam bacaan HPI sebagai onrechtmatigedaad (Belanda), Perancis “delit” atau acte illicit dengan istilah kumpulan “obligations delictuelles et quasi delictuelles, obligations quasi contractuelles, obligations purement legalis”, unerlaubte handlungen” (Jerman).
Khaidah-khaidah HPI yangmengatur materi-materi ini tidak semata-mata dibataskan kepada perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja, karena kesalahan pihak yang melakukan, baik secara intentional (dengan sengaja) atau hanya karena kelalaian (negligence). Istilah untuk kategori ini adalah “quasi delicts” tetapi, kini pada umumnya pengertian-pengertian yang dipergunakan dalam rangka “perbuatan melanggar hukum” dalam bacaan HPI tidak membedakan secara tegas antara kedua bagian ini. Juga tanggung jawab yang disebabkan karena perbuatanmelanggar hukum tanpa kesalahan termasuk di sini.


Di sini orang teringat kepada “tanggung jawab karena resiko”. Orang dapat melakukan perbuatan yang menurut hukum sama sekali sah adanya adanya, tetapi toh hal ini bisa menyebabkan kerugian bagi orang lain. Jika ia terjadi maka ia harus pula menanggung resiko untuk mengganti kerugian itu.
2. Teori klasik: hukum tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum
Khaidah “lex loci delicti” merupakan khaidah yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menemukan tantangan sedikitpun. Khaidah ini dianggap terlalu kaku sebagai “hard and fast rule” kurang memperlihatkan “souplesse” yang demikian diperlukan bilamana hendak memenuhi kebutuhan-kebutuhan hukum yang demikian aneka warnanya dalam realitas kehidupasn sehari-hari.
Hukum yang berlaku untuk peruatan melanggar hukum ialah hukum dimana perbuatan itu dilakukan atau terjadi. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya (jadi mengenai pertanyaan apakah telah terjadi suatu perbuatan melanggar hukum ialah onrechtmatigheidsvraag)” maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat daripadanya. Dengan kata lain tidak diadakan perbedaan antara “syarat-syarat” untuk perbuatan melanggar hukum dan akibat-akibat hukumnya.
3. Prinsip lex fori
Terhadap teori klasik yang diuraikan tadi menurut Wachter dan Savigny telah dipupuk pendirian bahwa dalam perkara-perkara perbuatan melanggar hukum selalu harus dipergunakan hukum dari forum sang hakim. Hal ini disebabkan karena khaidah-khaidah yang mengatur persoalan perbuatan melanggar hukum dan akibat-akibatnya mengenai pergantian kerugian adalah bersifat demikian memaksa, karena segi-segi ethisnya, hingga hakim dari setiap negara tak akan dapat menyimpang dari padanya. Khaidah-khaidah perbuatan melanggar hukum dari negara lain tak akan dipergunakan. Pikiran ini adalah sejalan dengan pendapat bahwa perbuatan melanggar hukum dari negara lain tak akan dipergunakan. Pikiran ini adalah sejalan dengan pendapat bahwa perbuatan melanggar hukum ini bersifat kriminal pula, setidak-tidaknya segi-segi kepidanaan ini memengaruhi dengan sangat Lex Fori ini juga menentukan kompetensi hakim.
4. Hatah ekstern Indonesia
Untuk HPI indonesia umumnya dikenal pula pemakaian prinsip “Lex Loci delicti” sebagai prinsip umum. Hal ini dapat kita saksikan dari pendirian para penulis dan juga dalam yurisprudensi walaupun perkara-perkara yang kita saksikan tak banyak. Telah disebutkan dalam rangka pembicaraan mengenai titik-titik taut beberapa keputusan yurisprudensi Indonesia yang memakai hukum tempat dimana perbuatan telah dilakukan.
5. Pendirian Yurisprudensi HAG di Indonesia; hukum dari pihak yang melanggar.
Dalam suasana HAG, dimana batas-batas hukum yang berlaku atas ukuran-ukuran personal (HAG= interpersoneel recht, interpersonal law) maka dapat dikatakan telah terpuruk dalam yurisprudensi suatu khaidah yang pasti, bahwa dalam persoalan-persoalan perbuatan melanggar hukum yang dipakai ialah “hukum dari pihak si pelanggar”.Untuk menentukan apakah dan seberapa jauh telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigheidsvraag) telah dipergunakan pula hukum dari pihak sang korban.
Pemakaian azas “hukum dari pihak yang melanggar” boleh dikatakan pasti adanya. Hanya sebagai pengecualian kadang-kadang dapat dipakai perlunakan dengan memakai hukum pihak yang lain (yakni dari sang korban), apabila pihak pelanggar ternyata telah “masuk ke dalam suasana hukum dari pihak lain”itu.
6. Tendensi dalam waktu akhir : diperlukan “pelembutan dari kaedah klasik”.
Pada latar belakang semua keberatan-keberatan yang diajukan terhadap teori klasik mengenai lex loci delicti commissi ini nampak ketidakpuasan dengan sikap kaku (rigide), yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara otomatis oleh pihak hakim, sebagai “hard and fast rule”, tanpa memperhatikan “keadaan sekitarnya” peristiwa bersangkutan, tak adanya “souplesse” atau “soupelheid” sedikitpun.
7. Perumusan dalam Restatement Second
Kaidah utama yang termaktub dalam paragrap 379 “Restatement of the Law of Conflict of Laws as adopted and promulgated by the “American Law Institute” yang telah ditambahkan dengan perincian titik taut secara enunsiatip, yakni :
1. “the place where the injury occured,
2. the place where the conduct occured,
3. the domicilie, nationality, place of incorporation and place of business of the parties, and
4. the place where the relationship, if any between the parties is centered.
Nilai dari titik-titik taut ini adalah relatif.
8. Perbuatan melanggar hukum dalam Eenvormige Wet Benelux
Dalam Konsep Rancangan E.W.Benelux pasal 18 mulai ayat pertamanya menunjuk Lex Loci Delicti yang berlaku untuk “onrechtmatigheidsvraag’ dan juga untuk akibat-akibatnya.
9. “Millieu social” dalam alam HATAH-Indonesia
Siapa yang memerhatikan perkembangan jurisprudensi HAG sekitar perbuatan melanggar hukum akan melihat bahwa tidak selalu hakim menganggap dirinya terikat pada keidah umum yang dipakai tetapi, kadang-kadang dapat pula diperhatikannya hukum dari pihak yang lain (yakni sang korban), dalam hal bilamana ternyata pihak dader ini telah “masuk dalam suasana hukum dari pihak yang lain”.
10. Tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum.
Berbagai teori telah dikemukakan untuk memecahkan persoalan ini antaranya :
a. Teori tempat terjadinya kerugian;
Titik berat diletakkan atas tempat di mana kerugian timbul.(sistem yang dianut Amerika).
b. Teori tempat dimana dilakukan perbuatan;
Titik berat harus dilakukan atas tempat di mana si pelanggar melakukan perbuatannya.
c. Teori kombinasi dengan kebebasan memilih;
Teori ini mengadakan kombinasi prinsip antara tempat terjadinya kerugian dan tempat dilakukannya perbuatan.



Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor