Dalam UU No 26/2000, pelaku pelanggaran HAM adalah individu dan diadili secara pidana dalam pengadilan pidana HAM. Ini jelas bukan hanya telah terjadi deviasi substantif hukum HAM, melainkan juga memupus tanggung jawab negara dalam setiap pelanggaran HAM yang terjadi. Aparat negara yang dituduh melakukan pelanggaran HAM tidak bisa dipidana dan dimintai pertanggungjawaban hukum. Sebab, pelaku pelanggar HAM adalah negara. Bagi aparat yang di lapangan, sejatinya dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika mereka memenuhi kualifikasi sebagai penjahat kemanusiaan, ia harus dituntut secara pidana, baik melalui peradilan lokal maupun Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Sebagai contoh, dalam kasus Timor Timur (Titim). Di situ terjadi dua pelanggaran hukum. Pertama, negara melanggar HAM karena aktif dan membiarkan aparat negara melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Di sini negara sah dimintai pertanggungjawaban. Acuan hukum internasionalnya, kovenan dan konvensi tentang HAM. Kedua, pribadi-pribadi yang terlibat di Timtim, baik pelaku di lapangan maupun pejabat yang mengambil kebijakan, harus dituduh sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan, bahkan genosida, dan harus dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. Acuan hukum yang digunakan adalah Konvensi Geneva dan Statuta Roma. Yang terjadi untuk kasus Timtim adalah hanya pelaku kejahatan kemanusiaan yang dimintai pertanggungjawabannya, sementara negara tidak pernah dimintai tanggung jawab. Kalaupun diminta, hanya sebatas kewajiban melakukan proses hukum atas penjahat kemanusiaan. Untuk tindakannya melakukan pelanggaran HAM, dengan sendirinya terkubur, dengan memalingkan tanggung jawab negara menjadi tanggung jawab pribadi-pribadi.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana negara bisa dimintai pertanggungjawban? Inilah tugas besar yang harus diadvokasi. Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM harus dilakukan suatu badan peradilan khusus yang dibuat oleh dan antarnegara yang mengikatkan diri. Di Amerika Serikat, Afrika, dan Eropa, telah ada suatu Regional Court of Human Rights. Sementara di Asia, atau di kawasan ASEAN, sampai saat ini masih sebatas gagasan. Dalam pengadilan HAM, perkara yang diadili adalah perkara perdata bukan pidana. Pihak yang berperkara adalah korban melawan negara. Karena proses keperdataan, sanksi hukum yang dijatuhkan majelis hakim berupa kompensasi atau ganti rugi dan perintah perubahan kebijakan yang jauh lebih melindungi hak warga.
Selain pembiasan sistemik yang diakibatkan UU No 26/2000, UU ini pun lahir di tengah krisis politik negeri ini. Karena itu, perubahan atas UU itu merupakan keharusan. Perubahan itu tidak semata-mata dapat meluruskan pembiasan, ia juga akan mengembalikan tanggung jawab negara untuk bertanggung jawab atas penegakan HAM, yang selama ini ditimpakan kepada individu-individu. Di atas segalanya, komitmen politik untuk mengubah aneka kebijakan yang menghalangi tegaknya HAM harus ditumbuhkan. Advokasi HAM sudah sepatutnya tidak melulu berorientasi pada bagaimana seorang penjahat kemanusiaan diseret ke pengadilan, tetapi juga bagaimana kebijakan itu berubah dan melindungi HAM, termasuk memberikan keadilan, melalui proteksi, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi bagi korban.
Sebagaimana diketahui dan diakui selama ini, KUHP adalah hukum pidana warisan kolonial Hindia Belanda. Sebagian isi ketentuannya bertujuan melanggengkan kekuasaan atau rezim kolonial. Apalagi ketika diberlakukan, deklarasi maupun perjanjian internasional tentang HAM belum ada. Kini bukan saja telah terdapat banyak perjanjian internasional tentang HAM, bahkan Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian tersebut. Apa konsekuensi atas langkah ratifikasi perjanjian-perjanjian itu? Konsekuensinya adalah pemerintah dan DPR wajib menyesuaikan produk perundang-undangannya dengan perjanjian-perjanjian tentang HAM yang diratifikasinya, termasuk mengefektifkan kinerja aparat penegak hukum (law enforcement officials).
Selain itu, negara RI juga telah mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memuat ketentuan mengenai HAM. Ada juga UU No 39/1999 tentang HAM. Seharusnya, setiap usul revisi maupun penyusunan produk hukum baru dituntun oleh ketentuan-ketentuan UUD dan UU HAM. Jika tetap mengabaikan kebutuhan untuk melindungi HAM, revisi KUHP sesungguhnya bertentangan dengan keharusannya untuk menyesuaikan dengan UUD dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi serta UU HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik. Lebih gawat lagi jika memuat usul revisi yang termasuk melegalkan kategori pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) seperti hak atas pikiran dan keyakinan politik serta hukuman mati.
Usul revisi KUHP yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM adalah sebuah cara melanggar hak orang secara hukum dan berbuntut pada proses hukum (violence by judicial). Padahal, suatu hukum pidana disusun justru untuk melindungi hak setiap orang dari tindak kejahatan. Mengingat terdapat pertentangannya dengan UUD 1945, kiranya nanti KUHP bisa terbuka untuk diuji secara materiil (judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi karena dianggap cacat. Sungguh mubazir jika acuan usul revisi KUHP melenceng dari sumber hukumnya yang tertinggi, yaitu UUD 1945. Seharusnya, usul itu mampu membedakan dan memisahkan tindak kejahatan dan ekspresi, kemerdekaan (kebebasan). Tanpa kemampuan menegaskan kedua hal ini, kita akan terjerembab pada upaya kriminalisasi hak atas kemerdekaan. Persis seperti rezim kolonial menghukum para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Selain bertujuan melindungi HAM, hukum pidana juga memberikan sanksi pidana terhadap orang-orang yang menjadi pelaku dan bertanggung jawab atas suatu tindak kejahatan. Lantas, yang diharapkan dari tujuan ini ialah agar orang-orang yang menjadi korban tindak kejahatan memperoleh keadilan dan kejahatan dapat dikurangi. Jika para pelaku tindak pidana tak diberi sanksi hukum melalui proses hukum yang jujur, aparat penegak hukum dapat dituduh melanggar HAM (korban) melalui pembiaran (violence by omission). Aparat hukum dituduh membiarkan pelaku kejahatan bebas bergentayangan tanpa dapat disentuh hukum (impunity). Setiap kejahatan telah diakui di mana pun sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan untuk itu harus ada sanksinya. Negara melalui lembaga peradilan berkewajiban menyelenggarakan proses penegakan hukum pidana tersebut tanpa diskriminasi. Tetapi, proses penegakan ini tetap harus melindungi hak-hak asasi tersangka dan terdakwa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Karena itu, definisi kejahatan atau tindak pidana harus jelas. Yakni, menyangkut perbuatan seseorang atau kelompok yang dapat menimbulkan korban atau kerugian materiil dengan melanggar hukum pada orang lain. Dalam tindak pidana, selalu ada korban, terutama sebagai akibat adanya bentuk paksaan dari pelakunya. Dengan definisi yang jelas, kiranya suatu usul revisi bakal mampu membedakan, sekaligus memisahkan, kejahatan dan hak atas kemerdekaan sehingga dapat menghapuskan upaya kriminalisasi hak atas kemerdekaan. Apalagi kelak diberlakukan untuk semua orang. Bukan untuk kepentingan suatu golongan saja. Memang, hukum pidana bisa saja menjadi alat politik suatu golongan, persis seperti rezim kolonial Hindia Belanda atau rezim Orde Baru dengan memakai UU Antisubversi. Seharusnya, produk hukum pidana disusun dengan prinsip imparsialitas, tidak memihak golongan mana pun, agar semua orang dapat menerimanya. Hanya suatu tindak pidana yang jelas sajalah, yang dapat dipidana.
Tentu diharapkan hasil revisi KUHP tak lebih buruk daripada olahan penguasa kolonial Hindia Belanda. Sebab, UUD 1945 telah empat kali diamandemen, UU HAM telah berlaku, dan beberapa perjanjian internasional tentang HAM telah diratifikasi. Karena itu, sangat pantas produk hukum tersebut menjadi spirit bagi usul revisi KUHP.
2 komentar:
A GOOD WRITING..
IF I COULD GIVE YOU A CRITIC, I MY SELF THINK THAT, YOUR WRITING WILL BE MORE GOOD, IF YOU GIVE US A DEEP INTRODUCTION, SO WE COULD UNDERSTAND THE MAIN PROBLEM, POINT OF THINKING THAT YOU WANT ELABORATE.
AND MAYBE YOU CAN GIVE SOME EVIDENCES TO STRENGTHEN YOUR WRITING, AND TO HELP THE READER TO UNDERSTAND THE MAIN POINT OF YOUR WRITING. BUT FOR ME THIS WRITING SO FAR SO GOOD, AND HOPEFULLY, IT COULD GIVE ADVANTAGE FOR THE READER....
LOVE,
FRISELLA
okee.. tks buat krtikannya
untuk tulisan ke depannya akan kucoba lebih menggali substansi isi tulisannya.
Posting Komentar