A. Latar Belakang Konvensi
Penyiksaan dipandang secara paling serius oleh komunitas internasional. Memang terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelarangan penyiksaan dalam kenyataan adalah jus cogens. Pelarangan ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable) dan melakukan penyiksaan merupakan kejahatan internasional menurut Statuta (Roma) Mahkamah Pidana Internasional.
B. Lingkup Konvensi
Pasal 1 konvensi menetapkan lingkup perlakuan yang dicakup oleh konvensi yaitu: Untuk maksud konvensi ini, istilah penyiksaan berarti tindak apapun yang dengan tindakan itu rasa sakit atau penderitaan yang berat, fisik ataupun mental, secara sengaja dilakukan terhadap seseorang untuk maksud seperti mendapatkan dari orang tersebut atau orang ketiga, informasi atau pengakuan, menghukumnya atas tindak yang dilakukan atau disangka dilakukan olehnya atau untuk mengintimidasi atau memaksanya atau orang ketiga, atau karena alasan apapun yang didasarkan pada diskriminasi apapun ketika, apabila rasa sakit atau penderitaan demikian dilakukan oleh atau atas hasutan atau atas persetujuan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Penyiksaan tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari inheren dalam, atau yang terjadi sebagai akibat sanksi hukum.
Definisi ini mungkin merupaan definisi penyiksaan yang paling komprehensif yang ditetapkan dewasa ini dan diperlakukan sebagai rujukan oleh badan-badan internasional, regional dan nasional. Pembukaan konvensi itu sendiri menyatakan bahwa konvensi tersebut menghormati pasal 5 DUHAM dan pasal 7 kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Larangan terhadap penyiksaan bersifat mutlak sehingga semua Negara wajib “mengambil tindakan legislative, Administratis, yudicial, atau tindakan lainnya yang efektif” untuk memastikan pencegahan penyiksaan. Tidak ada keadaan luar biasa yang dapat digunakan untuk membenarkan penyiksaan.
C. Pembahasan
Di dalam badan-badan regional pada mulanya tampak ada keengganan untuk mengutuk kegiatan Negara sebagai “penyiksaan”. Karena alasan politik dan diplomatis istilah perlakuan dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat seringkali lebih disukai. Bagaimanapun, karena semua jenis perlakuan termasuk dalam lingkup Konvensi (dan kovenan serta instrument regional), pembedaan ini adalah artifisial. Semenjak diterimanya Konvensi, tekanan diletakkan pada pencegahan keterlibatan Negara dalam perlakuan yang melanggar. Sesuai dengan berbagai kumpulan panduan yang diterima PBB, kehatian-hatian harus diambil untuk memastikan bahwa penangkapan dilakukan dengan cara yang menyebabkan cedera tidak perlu dan pengajuan pertanyaan lainnya tidak boleh melibatkan penggunaan paksaan. Negara juga harus melakukan investigasi terhadap setiap dugaan penyiksaan yang dituduhkan kepada pejabat Negara. Beban Negara untuk bersifat proaktif adalah jelas yaitu “Negara harus memastikan bahwa pengaduan dan laporan penyiksaan dan atau perlakuan buruk secara cepat dan efektif disidik. Bahkan tanpa adanya pengaduan yang secara jelas penyidikan harus dilakukan jika terdapat indikasi lain bahwa penyiksaan atau perlakuan buruk telah terjadi. Para investigator harus independen terhadap mereka yang disangka sebagai pelaku dan badan tempat mereka bekerja, haruslah kompeten dan tidak memihak. Metode yang digunakan untuk melakukan investigasi demikian harus memenuhi standar professional yang paling tinggi dan harus diumumkan.
Pasal 3 Konvensi ini menyatakan :
1. Negara Pihak tidak boleh mengusir, mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke Negara lain dimana terdapat alasan substansial untuk percaya bahwa ia akan berada dalam bahaya untuk menjadi sasaran penyiksaan;
2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan demikian, pejabat yang berwenang harus memperhatikan semua pertimbangan yang relevan, termasuk sepanjang masih dapat diterapkan, terdapatnya pola konsisten pelanggaran berat hak asasi manusia, tertang-terangan, atau massal di Negara yang bersangkutan.
Ketentuan ini memperluas berlakunya konvensi dan kewajiban Negara. Hasilnya adalah bahwa Negara yang sedang mempertimbangkan ekstradisi, pengusiran dan lain-lain harus melakukan investigasi catatan hak asasi manusia Negara dan dugaan adanya penyiksaan terjadi disana.
Komite Menentang Penyiksaan
Terdapat beberapa mekanisme pelaksanaan menurut konvensi Menentang Penyiksaan yaitu pembahasan laporan, investigasi, komunikasi antar Negara dan komunikasi individual (diatur dalam bagian II dari konvensi). Semua mekanisme bertumpu pada Komite Menentang Penyiksaan yang dibentuk sesuai dengan pasal 17. Komite terdiri dari 10 ahli “dengan kedudukan moral tinggi dan kemampuan yang diakui dalam bidang hak asasi manusia” yang menjalankan tugas dalam kapasitas pribadi mereka (dalam pasal 1). Para anggota dipilih oleh Negara-negara pihak dengan mempertimbangkan berbagai alasan geografis yang adil dan pada kegunaan partisipasi beberapa anggota yang memiliki pengalaman hukum. Memilih anggota komite Menentang Penyiksaan yang juga merangkap sebagai anggota Komite hak asasi manusia adalah sangat dianjurkan.
(1) Laporan Negara
Pembahasan laporan Negara didasarkan pada pasal 19 konvensi Menentang Penyiksaan. Negara-negara pihak harus menyampaikan laporan tindakan yang telah diambil untuk melaksanakan janji kepada Negara-negara pihak menurut pasal 19 ayat (1). Setelah membahas laporan itu komite dapat “membuat komentar atau saran atas laporan tersebut yang dianggapnya tepat”, sesuai dengan pasal 19 ayat (3). Komite menyampaikan laporannya setiap tahun kepada Majelis Umum (pasal 24).
(2) Komentar Umum
Komite Menentang Penyiksaan sejauh ini telah membuat satu Komentar Umum yakni tentang pengembalian ke Negara asal yang merupakan komunikasi atas pelaksaan pasal 3 yang berkaitan dengan pasal 22.
(3) Investigasi
Menurut pasal 20 Konvensi Menentang Penyiksaan, Komite dapat melakukan investigasinya sendiri. Hal ini merupakan mekanisme semi wajib, namun Negara-negara yang menjadi pihak pada konvensi dapat mendeklarasikan bahwa Negara mereka tidak akan memberikan kekuasaan investigasi kepada komite. Persyaratan untuk prosedur penyelidikan ex officio ini adalah bahwa Komite pertama-tama “menerima informasi yang dapat dipercaya yang mengandung indikasi kebenaran adanya penyiksaan yang dipraktikkan secara sistematis dalam wilayah Negara pihak sebagaimana ditetapkan dalam pasal 20 ayat (1). Dalam pemeriksaan informasi ini Komite meminta Negara yang bersangkutan untuk bekerjasama, kemudian Komite mengangkat seorang atau lebih anggotanya untuk melakukan penyelidikan tertutup dan melaporkan kembali dengan segera sesuai dengan pasal 20 ayat (1). Para ahli boleh melakukan kunjungan ke Negara yang bersangkutan dengan persetujuan negara tersebut (pasal 20 ayat (3)). Keseluruhan proses dan hasilnya adalah tertutup tetapi ringkasannya dapat dimasukkan dalam laporan tahunan (ayat 5). Pasal 20 memperbolehkan Negara membuat reservasi tetapi hal ini belum pernah dilakukan (pasal 28 ayat 1).
(4) Komunikasi Antar Negara
Komite mempunyai wewenang untuk memeriksa komunikasi antar Negara berdasarkan pasal 21. Mekanisme ini bersifat optional, dan Negara-negara pihak perlu secara eksplisit memberi kewenangan kepada Komite sebelum pengaturan itu berlaku. Sampai saat ini belum ada komunikasi antar Negara yang ditangani Komite tersebut.
(5) Komunikasi Individual
Komunikasi individual dapat diperiksa oleh Komite berdasarkan pasal 22. Mekanisme tersebut bersifat optional, mekanisme itu hanya berlaku bagi Negara-negara pihak yang telah membuat deklarasi yang menerima wewenang komite. Hanya 52 dari 132 negara Pihak pada konvensi, yang pada 2006 menyetujui mekanisme pengaduan individual. Cukup banyak kasus yang telah ditangani dalam waktu berfungsinya Komite tersebut yang sangat singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar