Minggu, 11 Oktober 2009

Pembentukan LPSK Sebagai Perwujudan Hak Sipil dan Politik

Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan suatu bentuk pengakuan terhadap martabat manusia. Banyak konvensi yang dilahirkan setelah DUHAM diantaranya termasuk Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Negara-negara kemudian mengambil langkah hukum dan administratif dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) warganya dan negara harus mengimplementasikannya dalam sebuah aturan atau ada langkah lanjutan dengan membuat aturan pidana. Negara harus menyediakan mekanisme bagi tuntutan yang diajukan oleh korban pelanggaran HAM.


Keberadaan LPSK merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi para pihak yang menjadi korban pelanggaran HAM. Dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu.
Ketidakseimbangan perhatian masyarakat terhadap perlakuan kepada pelaku dan korban akan menimbulkan bentuk ketidakadilan yang baru yang bermuara pada pelanggaran HAM yang baru pula. Meskipun perlu diakui bahwa penjatuhan sanksi pada pelaku pelanggaran HAM disatu sisi juga berarti perlindungan HAM terhadap korban pelanggaran di sisi lain. Tapi kecenderungannya dalam praktik atau yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari adalah selalu saja merugikan korban. Hal ini sangat tragis dan kiranya perlu mendapat perhatian yang serius. Sangat banyak yang harus dikerjakan dan diselesaikan dalam rangka perlindungan hak-hak korban yang merupakan perlindungan terhadap HAM itu juga. Negara kita telah mempunyai instrumen hukum tentang HAM seperti UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU NO 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia serta dengan keluarnya UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berkedudukan di Ibukota Negara, Jakarta. Lembaga tersebut beranggotakan 7 orang yang terdiri dari unsur-unsur profesional dibidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan HAM, kepolisian, kejaksaan, akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Ada 3 hak korban yang diberikan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
1. Akses to justice yaitu hak untuk menempuh upaya hukum apapun baik pidana atau administrasi demi keadilan korban;
2. Hak atas reparasi yaitu terdiri dari berbagai bentuk reparasi yang layak, efektif dan segera untuk melindungi korban. Reparasi menjadi tanggung jawab negara maupun pelakunya.
3. Hak atas informasi atau fakta yang berkaitan dengan pelanggaran.
Dalam pasal 5 UU ini dijelaskan lagi bahwa seorang korban dan saksi berhak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapat identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat penasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Sebagai bentuk implementasi perlindungan terhadap korban maka diberikan ganti kerugian atau santunan yang dipakai untuk mengganti kerugian kepada korban akibat dari pelaku tindak pidana. Ganti kerugian yang diberikan berupa kompensasi, restitusi, ataupun rehabilitasi. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan restitusi adalah mengembalikan korban pada situasi asalnya sebelum terjadi pelanggaran HAM (memulihkan kehidupannya), mengembalikan apa-apa saja yang menjadi hak korban. Restitusi dapat berupa pengembalian hak milik, pengembalian ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Rehabilitasi berupa pemulihan pada kedudukan semula, misalnya jabatan, kesehatan fisik dan mental. Rehabilitasi terutama dibutuhkan oleh korban kejahatan yang bukan saja cidera fisik tetapi mentalnya juga terganggu.
Perlindungan yang diberikan LPSK bagi saksi berupa:
1. Perlindungan fisik;
- Pengawalan kehadiran saksi dari awal penyelidikan samapi pada proses pengadilan
- Pengawalan sebelum, pada saat dan setelah proses hukum
2. Perlindungan kerahasiaan;
- Merahasiakan identitas diri saksi
- Merelokasi
- Program perubahan wajah.
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK artinya keputusan LPSK wajib dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Kuliah umum dalam rangka 60 Tahun DUHAM, oleh Bapak A.H. Semendawai, S.H., LL.M
Di Fakultas Hukum UNPAD, 10 Desember 2008.


Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor