Minggu, 11 Oktober 2009

GATT / WTO

Latar Belakang GATT ke WTO
GATT ( General agreement on tariff and trade) dibentuk pada Oktober tahun 1947. GATT dibentuk sebagai suatu dasar (atau wadah) yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di samping Bank Dunia IMF. Negara-negara yang pertama kali menjadi anggota adalah 23 negara. Ke-23 negara ini juga yang membuat dan merancang Piagam International Trade Organization (Organisasi Perdagangan Internasional) yang ada pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.



Piagam itu dimaksudkan bukan saja untuk memberikan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan perdagangan dunia tetapi juga membuat keputusan-keputusan mengenai ketenagakerjaan (employment), persetujuan komoditi, praktik-praktik restriktif (pembatasan) perdagangan, penanaman modal internasional dan jasa. Ada dua fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur mengenai transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of the road for tradle). Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di sini diupayakan agar praktik perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Selain itu, GATT mengupayakan agar aturan atau praktik perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable), baik melalui pembukaan dasar nasional atau melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.
Sejak berdiri, GATT telah mensponsori berbagai macam perundingan-perundingan utama/pokok yang biasanya disebut juga dengan istilah putaran (rounds). Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan menpercepat liberalisasi perdagangan internasional.
Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Perundingan perdagangan memungkinkan para pihak secara bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan yang cukup luas.
2. Para pihak akan lebih mudah membalas komitmen-komitmen perdagangan di suatu putaran perundingan daripada membahasnya dalam lingkup bilateral.
3. Negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kurang maju akan lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam membahas sistem perdagangan multilateral dalam lingkup suatu perundingan dan akan lebih menguntungkan negara-negara sedang berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung dengan negara-negara maju.
4. Dalam merundingkan sektor perdagangan dunia yang sensitif, pembahasan atau perundingan akan relatif dapat lebih mudah dalam konteks suatu forum yang sifatnya global. Misalnya adalah pembahasan isu pertanian dalam perundingan Uruguay.
Namun pada perkembangannya,GATT tidak berjalan dengan efektif karena Amerika Serikat sebagai pencetus dari International Trade Organisation itu sendiri tidak meratifikasi piagam Havana. Oleh karena itu, WTO lahir pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting untuk GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya perjanjian mengenai jasa (GATS), penanaman modal (TRIM’s), dan juga dalam perjanjian mengenai perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Penyelesaian Sengketa
A. Prinsip penyelesaian sengketa
Sengketa muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan yang kemudian merugikan kepentingan negara lain. Selain negara yang paling dirugikan oleh kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan mendapat hak-hak tertentu selama berlangsungnya proses penyelesaian sengketa.
Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil.
B. Proses Penyelesaian Sengketa
• Proses Panel
Suatu sengketa dapat masuk ke WTO dalam berbagai tahap. Pada setiap tahap, negara-negara yang bersengketa didorong untuk melakukan konsultasi satu sama lain terlebih dahulu untuk upaya penyelesaian diluar persidangan.
Tahap-tahap penyelesaian sengketa di WTO sebagai berikut :
i. Tahap pertama : Konsultasi (maksimum 60 hari)
Sebelum mengambil tindakan yang lebih jauh, negara-negara yang bersengketa haruslah berunding (konsultasi) terlebih dahulu untuk mencari jalan keluar atas perbedaan pendapat diantara mereka. Jika gagal, mereka juga dapat meminta bantuan Direktur Jenderal WTO untuk menengahi atau membantu menyelesikan sengketa.
ii. Tahap kedua : Panel (maksimum 45 hari untuk pembentukan panel ditambah waktu 6 bulan bagi panel untuk menghasilkan keputusan)
Jika konsultasi mengalami kegagalan, maka negara yang mengajukan gugatan dapat meminta dibentuknya suatu panel. Negara yang “tergugat” dapat berupaya untuk merintangi pembentukan panel sebanyak satu kali, tetapi pada persidangan Dispute Settlement Body (DSB) yang kedua kalinya, pembentukan panel tersebut tidak dapat lagi dihambat (kecuali ada consensus yang menentang pembentukan panel tersebut)
Secara resmi, tugas panel adalah membantu DSB membuat putusan atau rekomendasi. Namun karena laporan hanya dapat ditolak melalui consensus dalam DSB, maka hasilnya sulit untuk digugurkan. Temuan-temuan panel harus didasarkan atas peraturan yang terdapat dalam persetujuan WTO.
Laporan akhir Panel biasanya diberikan kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam waktu 6 bulan. Dalam kasus-kasus penting, termasuk kasus yang menyangkut barang-barang yang mudah hancur, tenggat waktunya menjadi 3 bulan.
• Banding (Appeals)
Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Terkadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/ pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada baru muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh Panel sebelumnya.
Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh orang anggota tetap Badan Banding yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas.
Keputusan pada tingkat banding dapat menunda, mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membuthukan waktu tidak lebih dari 60 hari dan batas maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima atau menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui consensus.
• Penyelesaian sengketa setelah Rekomendasi atau keputusan Disute Settlement Body
Jika suatu Negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan yang tidak konsisten dengan WTO, maka Negara tersebut harus segera menngoreksi kesalahnnya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika Negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai “retaliasi”. Biasanya kompensasi atau retaliasi diterapkan dalam bentuk konsensi atau akses pasar.
Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi perdagangan (bentuk konvensional dari hukuman) diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah bahwa “tergugat” harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai penyelesaian sengketa menetapkan bahwa “tindakan yang cepat dalam hal mematuhi rekomendasi-rekomendasi ataupun putusan-putusan DSB sangat penting untuk menjamin bahwa putusan penyelesasian tersebut efektif dan menguntungkan seluruh anggota WTO “.
Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan dalam laporan panel (panel report) atau laporan banding (appellate body report). Niat tersebut harus dinyatakan dalam sidang DSB yang diselenggarakan dalam jangka waktu 30 hari setelah pengesahan laporan tersebut. Sekiranya pelaksanaan dari putusan tersebut terbukti sulit untuk dilakukan, Negara anggota tersebut akan mendapatkan keringanan jangka waktu tertentu (reasonable period of time) dalam melaksanakannya. Jika dalam waktu tertentu yang diberikan tersebut, Negara yang bersangkutan masih belum dapat memenuhinya, harus ada perundingan lebih lanjut dengan Negara “penggugat” untuk menentukan suatu ganti rugi / keputusan yang dapat diterima semua pihak, misalnya pengurangan tarif dalam bidang tertentu yang menyangkut kepentingan Negara “penggugat”.
Jika dalam 20 hari belum ada kesepakatan ganti rugi yang memuaskan, Negara penggugat dapat meminta izin kepada DSB untuk menerapkan suatu sanksi dagang terbatas terhadap Negara yang kalah dalam sengketa. DSB harus memberikan wewenang tersebut dalam waktu 30 hari setelah batas perpanjangan waktu reasonable period of time, kecuali ada consensus di DSB untuk menentang permintaan tersebut.
Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan yang disengketakan. Jika tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif, sanksi dapat diterapkan pada sector yang lain, dalam satu persetujuan yang sama. Selanjutnya, sekiranya masih juga belum bisa dilaksanakan atau efektif, dan jika keadaanya cukup serius, tindakan dapat diambil dibawah persetujuan WTO lain. Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan merambatnya tindakan tersebut kedalam bidang-bidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus menjamin agar tindakan tersebut efektif. Dalam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yang telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai berhasil diselesaikan.
Studi kasus
Fakta hukum
• Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002.
• Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.
• Pada Mei 2003 Korea Selatan memberlakukan BM (bea masuk) anti dumping atas produk kertas Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel.
• Tepatnya pada 9 Mei 2003 KTC mengenai Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61 persen, PT Pindo Deli 11,65 persen, PT Indah Kiat 0,52 persen, April Pine dan lainnya sebesar 2,80 persen.
• Kemudian Pada 7 November 2003, KPC menurunkan BMAD untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat masingmasing sebesar 8,22 persen, serta untuk April Pine dan lainnya 2,8 persen.
• Pada 4 Juli 2004, Indonesia dan Korea Selatan mengadakan konsultasi bilateral akan tetapi tidak mencapai kesepakatan.
• 27 September 2004, Disputes Settlement Body WTO membentuk Panel. Pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China dan Kanada.
• 1-2 Februari 2005, diselenggarakan Sidang Panel kesatu
• 30 Maret 2005, diselenggarakan Sidang Panel kedua
• 28 Oktober 2005, Panel Report
Identifikasi Masalah
1. Apakah Korea melanggar ketentuan GATT/WTO terkait prinsip-prinsip dalam Perjanjian WTO?
2. Apakah penyelesain sengketa yang dilakukan Indonesia telah sesuai dengan ketentuan GATT/WTO?
PEMBAHASAN
Dalam kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia pada perusahaan eksportir produk kertas diantaranya PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp and Mills, dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, serta April Pine Paper Trading Pte. Ltd, Korea Selatan menyatakan bahwa pihak eksportir Indonesia telah melakukan dumping.
Adapun Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping oleh suatu negara yang :
1. Harus ada tindakan dumping yang LTFV (less than fair value)
2. Harus ada kerugian material di negara importir
3. Adanya hubungan sebab-akibat antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Seandainya terjadi dumping yang less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang.
Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing.
Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional guna mewujudkan terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang mengikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.
Peraturan-peraturan WTO memegang tegas prinsip-prinsip tertentu tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada didalamnya adalah :
1. Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil)
2. Subsidi dan tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
3. Tindakan – tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards)
Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi. Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products.
Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar kewajibannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping.
Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reasonable period of time/RPT). Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut. Padahal Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menyatakan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam penyelidikan antidumping kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta Korea Selatan segera menjalankan keputusan ini.
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang disertai dengan dampak lainnya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.


Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor