Minggu, 11 Oktober 2009

AMCO VS PERTAMINA

Kasus Posisi
Semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad).
Pada 1968, Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak membuat perjanjian pembagian keuntungan dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu, dan menyetorkan separuh keuntungan kepada Wisma Kartika.
Tapi kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan. Kedua pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor. Puncaknya, pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaan Kartika Plaza. Amco Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan melakukan kecurangan keuangan.


Tentu saja, Amco Indonesia tak bisa menerima "kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk Kartika Plaza hampir US$ 5 juta. Kecuali itu, Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400 juta. Begitu pula pembagian keuntungan untuk Wisma Kartika pada 1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha Amco Indonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan. Perusahaan itu, yang seharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$ 1,4 juta. Buntut dari pengambilalihan pengelolaan Kartika Plaza itu akhirnya dimajukan ke meja hijau. Wisma Kartika menggugat Amco Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sampai tingkat kasasi (30 April 1985), Amco Indonesia masih tetap kalah, dan diharuskan membayar ganti rugi hampir Rp 800 juta. Pelaksanaan ganti rugi tersebut dikabarkan belum sampai dilaksanakan, karena Amco Indonesia, waktu itu, disebut-sebut sudah bubar. Betulkah? Pada 15 Januari 19~81, Amco Indonesia ternyata menggelar perkara itu di lembaga arbitrase ICSID. Mereka menuntut pemerintah RI membayar ganti rugi US$ 12 juta -- berdasarkan kurs masa itu sekitar Rp 15 milyar. Penggugatan terhadap pemerintah RI sesuai dengan Undang-undang No 5 tahun 1968, tentang penanaman modal asing, yang meratifikasi Konvensi Washington. Setelah hampir tiga tahun di persidangan, dewan arbiter akhirnya menghukum Indonesia untuk membayar ganti rugi US$ 3,2 juta pada 19 November 1984. Pemerintah Indonesia, melalui Pengacara Prof. Sudargo Gautama dan Kantor Pengacara White & Case di Washington, menyatakan banding atas keputusan dewan arbiter tersebut. Pada 16 Mei 1986 keputusan membayar ganti rugi kepada Amco Indonesia itu dibatalkan pengadilan. Kendati demikian, pemerintah RI dalam hal ini diwakili Departemen Keuangan konon sudah telanjur mengeluarkan biaya sekitar US$ 4 juta untuk meladeni arbitrase itu. Uang tersebut antara lain untuk ongkos arbiter, para saksi, dan biaya persidangannya, yang berpindah-pindah dari Washington, Paris, Kopenhagen, dan Wina.
Merasa dirugikan oleh keputusan itu, Amco Indonesia kembali menggelar gugatan di ICSID. Pada 31 Mei 1990, majelis arbiter yang dipimpin Higgins, guru besar pada London School of Economics menghukum Indonesia untuk membanyar ganti rugi US$ 2,6 juta plus bunga 6% per tahun terhitung sejak keputusann dewan arbiter diucapkan. Angka ganti rugi itu, menurut majelis arbiter, merupakan keuntungan yang bisa diperoleh Amco Indonesia sampai 15% seandainya mereka tak didepak.
Menurut pengacara kantor pusat Amco di New York, Robert Hornick, pemerintah Indonesia sepatutnya menaati keputusan itu. Sebab, tambahnya, selain pihaknya sudah menunggu lama sekali, ganti rugi itu juga praktis lebih kecil ketimbang keputusan pertama ICSID. "Kami berharap, pemerintah Indonesia bisa mengakui keputusan itu dalam waktu dekat ini," kata Hornick. Menurut bos Amco Kanada Tan Tjin Kan, kelahiran Indonesia, pemerintah RI sebagai anggota Bank Dunia selayaknya menghormati keputusan itu. Ia menambahkan bahwa Amco kecewa dengan ganti rugi yang ditetapkan dewan arbitrase. Karena ongkos ~yang mereka keluarkan untuk kasus itu sebesar US$ 1,5 juta. Di Jakarta, sampai pekan lalu, Direktur Utama Wisma Kartika BrigJen. Suratman Hadi mengaku belum mengetahui keputusan itu. Kuasa hukum Wisma Kartika, Anis Idham, menambahkan bahwa pihaknya sama sekali tak ada kaitan lagi dengan Amco Indonesia dalam sengketa arbitrase itu. Menurut Anis, justru yang menjadi masalah sekarang tak kunjung bisa dieksekusinya kemenangan Wisma Kartika di pengadilan kita, karena Amco Indonesia sudah tak ada lagi. Sementara itu, Kepala Bidang Hukum dan Humas Departemen Keuangan Bacelius Ruru menyatakan bahwa instansinya kini masih mengkaji keputusan dewa arbiter tersebut. Soalnya bukan murah tidaknya ganti rugi itu. Tapi, apakah keputusan itu wajar? Dan, yang penting, bagaimana menjaga kehormatan pemerintah RI..
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apakah yang menjadi permasalahan pokok pada pengajuan gugatan oleh AMCO terhadap Pemerintah Indonesia c.q BKPM dalam perkara Hotel Kartika Plaza di Indonesia?
2. Dalam hal apa dan bagaimana pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia c.q BKPM?
3. Bagaimana kesesuaian langkah penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan penanaman modal asing ini dengan ketentuan ICSID?
Para Pihak
a. Penggugat : AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas :
1. Amco Asia Corporation
2. Pan American Development
3. PT. Amco Indonesia
b. Tergugat : Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
PEMBAHASAN
Indonesia telah meratifikasi konvensi ICSID dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Begitu juga dengan Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Ikut sertanya Indonesia dalam kedua konvensi tersebut tidak berarti Indonesia telah menyerahkan kedaulatannya dalam perselisihan dengan pihak asing.
Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT. Amco Indonesia.
Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman modal asing.
Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama.
Ketiga badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Dengan melihat penyelesaian kasus sengketa penanaman modal asing antara Pemerintah Indonesia c.q BKPM dengan PT AMCO Limited melalui “legal dispute” pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing oleh Pemerintah Indonesia c.q BKPM maka yang perlu mendapat perhatian bagaimana proses beracara melalui arbitrase yang menurut teori dapat dilalui dengan cepat dan hasilnya memuaskan kedua belah pihak, namun dalam praktik seperti pada contoh kasus ini menghabiskan waktu sekitar 9 tahun lamanya.
Namun dalam putusan tingkat ketiga Dewan Arbitrase ICSID dapat diambil suatu pelajaran yang sangat bermanfaat bilamana berhadapan dengan pihak penanaman modal asing bahwa lisensi atau izin yang telah diberikan sedapat mungkin dihindari pencabutannya. Kemudian bilamana terjadi sengketa antara partner lokal dengan pihak penanam modal asing, pihak pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dan mengambil tindakan – tindakan yang mengarah kepada pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing itu.
Untuk menghilangkan kesan yang buruk terhadap setiap tindakan yang diambil dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa penanaman modal asing sebaiknya kita terus meningkatkan pemahaman serta memperluas wawasan tentang hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa penanaman modal, baik hukum nasional maupun aturan – aturan yang dipakai secara internasional
PEMERINTAH RI juga para konglomerat di sini, agaknya kini harus benar-benar memberi perlindungan yang cukup baik kepada para penanam modal asing. Kalau tidak, bisa-bisa harus menanggung ganti rugi. Buktinya: badan arbitrase International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Washington, 31 Mei lalu, mengharuskan Pemerintah RI membayar ganti rugi US$ 2,6 juta kepada perusahaan modal asing, PT Amco Indonesia, anak perusahaan joint venture Amco Asia Corp. (Hong Kong) dan Pan American Development Ltd. (USA). Menurut keputusanmajelis arbiter, yang diketuai Praf. Rosalyn Higgins, Indonesia dianggap secara sepihak "mendepak" Amco Indonesia dari kedudukan selaku pemodal dan pengelola Hotel Kartika Plaza di Jalan M.H. Thamrin 10, Jakarta Pusat, pada 1980. Selain itu, pemerintah Indonesia dipersalahkan karena mencabut izin usaha Amco Indonesia.
Corporation, Pan American Development Limited, dan PT Amco Indonesia pada tanggal 15 Januari 1981, pihak Republik Indonesia telah mengemukakan pendirian sebagai berikut:
• “Mengenai consent (persetujuan) yang diberikan oleh suatu negara berdaulat untuk tunduk pada arbitrase menurut Konvensi itu harus ditafsirkan secara restriktif;
• Kiranya jurisdiksi dari Dewan Arbitrase ICSID tidak dapat diperluas hingga mencakup suatu Badan Hukum yang mempunyai kewarganegaraan dari Negara peserta Konvensi yang sedang dalam sengketa sekarang ini. Dalam hal ini PT Amco Indonesia, adalah suatu Badan Hukum dan dapat dipandang berkewarganegaraan Indonesia pula secara hukum, hingga tidak dapat diajukan soal ini kepada arbitrase di muka ICSID; Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa karena “foreign control,” para pihak telah menyetujui bahwa Badan Hukum ini harus diperlakukan sebagai warga negara dari suatu Negara peserta ICSID lain untuk maksud Konvensi ini (Pasal 25 ayat (2) sub b dari ICSID Convention). Pasal 9 dari Aplikasi Investasi yang telah diajukan pada BKPM tidak mengandung persetujuan secara jelas dari pihak RI untuk memperlakukan PT Amco sebagai warga negara dari negara lain;
• Juga tidak diketemukan bukti secara formal dan nyata dalam klausula arbitrase berkenaan dengan negara peserta mana para pihak telah menyetujui untuk memperlakukan PT Amco sebagai warga negara asing.”
Namun demikian Dewan Arbitrase ICSID ternyata tidak menyetujui pendirian pihak RI. Anggota Panel Arbitrase ICSID menyatakan pendapatnya dengan mendasarkan pada prinsip pacta sunt servanda. Bahwa Konvensi ICSID tidak seharusnya ditafsirkan secara restriktif tetapi Sengketa tersebut timbul berkenaan dengan telah dicabutnya lisensi penanaman modal oleh pejabat Ketua BKPM terhadap pihak investor dalam Hotel Kartika Plaza yakni Amco Asia Corporation. (Lihat Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, h. 1-2. 284 Sudargo Gautama, Indonesia dan... Loc Cit., h. 8-9. 159)
Secara luas harus didasarkan atas prinsip “pacta sunt servanda” yang dianggap sebagai prinsip yang dianut oleh semua sistem hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional. Di samping itu juga setiap Konvensi untuk mengadakan arbitrase harus ditafsirkan dan dilaksanakan dengan itikad baik (good faith). Ini berarti bahwa semua konsekuensi dan komitmen para pihak yang dianggap secara layak harus diperhatikan dan diperhitungkan terlebih dahulu.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS tentu saja berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Akan tetapi dalam beberapa hal substansi UU Arbitrase ternyata masih mengukuhkan materi hukum yang berasal dari PERMA 1/1990. Ketentuan tersebut di antaranya, Pasal 66 UU Abitrase substansinya sama persis dengan Pasal 3 PERMA 1/1990. Kemudian Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase juga sama dengan Pasal 5 ayat (4) PERMA 1/1990. Selebihnya tentu saja UU Arbitrase mengatur lebih luas dan komprehensif, sehingga sangat berbeda dengan PERMA 1/1990. Namun demikian perbedaan prinsipal di antara keduanya tampak pada pengaturan tentang otoritas pemberi eksekutor. Menurut PERMA 1/1990 yang berwenang memberi eksekutor adalah Mahkamah Agung, sedangkan di dalam Undang-undang Arbitrase 324 adalah KPN Jakarta Pusat. Dikecualikan apabila Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa, maka eksekutor tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pengecualian tersebut sama sekali tidak
diatur di dalam PERMA 1/1990.
Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekutor menggantikan Mahkamah Agung? Tidak dijumpai jawaban otentik dari risalah penyusunan Undang-undang mengenai hal itu. Akan tetapi menurut keterangan dari para informan diperoleh informasi yang cukup relevan dalam konteks alasan penunjukan tersebut. Para informan mengemukakan bahwa “hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diyakini sebagai figur yang sangat berpengalaman serta memiliki kemampuan handal dalam menangani berbagai kasus yang bernuansa transnasional termasuk dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing, bila dibandingkan dengan para hakim di pengadilan lain di Indonesia. Kondisi semacam itu antara lain disebabkan karakter wilayah Jakarta Pusat yang unik sekaligus rumit. Sebagai bagian dari Ibu Kota Negara RI, wilayah Jakarta Pusat memiliki kompleksitas permasalahan, skala aktivitas masyarakat yang sangat bervariasi dan berakselerasi tinggi. Informasi ini diperoleh dari sejumlah informan, diantaranya kalangan praktisi hukum termasuk mantan hakim dan yang lainnya dari kalangan akademisi yang juga sebagai praktisi hukum di Jakarta, serta populasi yang multi etnik dengan segala dinamikanya. Alasan itu menurut para informan diperkirakan merupakan salah satu pertimbangan, sehingga pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekutor untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Sesudah berlaku UU Arbitrase 30/1999, permohonan eksekutor putusan arbitrase asing ternyata masih menjumpai beberapa hambatan, sehingga hasilnya belum banyak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Permohonan eksekutor di dalam praktik masih tidak mudah untuk dikabulkan. Akibatnya secara umum pelaksanaan putusan arbitrase baik putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional masih sangat jarang terjadi.
Hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase nasional yang didaftarkan untuk dilaksanakan, menunjukkan bahwa jumlah putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada tahun 1999 menjadi hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan diberikan sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada tahun 2000 dan 2001. Untuk mengetahui betapa susahnya putusan arbitrase asing memperoleh eksekutor.
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Putusan arbitrase yang telah jelas kedudukan, status keberadaan, serta kekuatan hukumnya, secara tegas diposisikan sebagai putusan yang masih sangat tergantung pada kewenangan pengadilan negeri. Sejumlah indikasi mengenai hal tersebut sangat mudah dijumpai dalam undangundang arbitrase. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
Pertama, putusan arbitrase nasional maupun internasional yang hendak dilaksanakan,
disyaratkan terlebih dahulu lembar asli atau salinan otentik putusan tersebut untuk diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Khusus untuk putusan arbitrase internasional hal itu harus dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kedua, putusan arbitrase nasional yang tidak memenuhi ketentuan penyerahan dan pendaftaran putusan, berakibat putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Ketiga, putusan arbitrase nasional yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak.
Keempat, khusus untuk putusan arbitrase internasional, putusan dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
KESIMPULAN
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Internasional Untuk Penegakan Keadilan, Disertasi Bapak Eman Suparman
2. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
3. www.biicl.org, Kerusakan di Internasional Investasi Hukum
4. www.binchoutanpalace.blogspot.com, Studi Kasus ICSID
5. www.jurnalhukum.com, Kemungkinan Diajukannya Perkara Dengan Klausul Arbitrase ke Muka Pengadilan



Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor