Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang diikuti oleh lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang memerdekakan dirinya, para investor mulai mengfokuskan perhatiannya kepada pembangunan kembali negara-negara baru tersebut. Mereka berupaya pula mencari syarat-syarat yang menguntungkan di dalam usaha penanaman modalnya. Upaya petama di dalam menetapkan aturan hukum intenasional bagi penanaman modal asing terjadi sebelum Perang Dunia II. Pada masa itu, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menetapkan standar-standar internasional untuk perlindungan penanaman modal asing.
Standar-standar bagi perlindungan penanaman modal ini sesungguhnya pula dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara (maju) dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut adalah mengenai status orang asing. Standar ini diterapkan terhadap berbagai aspek hukum mengenai penanaman modal dan perlindungan modalnya. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (the regulations of foreign investment protection of property rights), penyelesian sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan perlindungan dalam hal terjadinya pemberontakan atau kekacauan. Perlakuan yang cenderung lebih menguntungkan investor asing ditentang keras oleh beberapa negara Amerika Latin. Salah seorang sarjana yang menentang standar internasional ini adalah Carlos Calvo, seorang ahli hukum dan menteri luar negeri Argentina. Menurut Calvo, seorang asing yang menetap di negera lain (untuk berusaha dan lain-lain) tunduk kepada hak-hak perlindungan yang sama dengan warga negara di negara tersebut. Upaya yang lebih serius dari masyarakat internasional untuk merumuskan pengaturan mengenai PMA terjadi setelah Perang Dunia II usai. Dalam suatu konperensi PBB mengenai Perdagangan dan Ketenagakerjaan (the United Nations Conference on Trade and Employment) di tahun 1947-1948, negara-negara juga telah menaruh perhatiannya kepada masalah penanaman modal ini. Namun pada waktu itu, isu penanaman modal bukan merupakan suatu agenda khusus. Ia semata-mata masih bagian dari suatu agenda yang membahas persoalan praktek bisnis yang restriktif (restrictive business practices). OECD secara resmi mengusulkan MAI pada the Ministerial Meeting OECD pada bulan Mei 1995. Prinsip utama yang diemban MAI adalah prinsip non-diskriminasi dengan menekankan aspek-aspek sebagai berikut:
1) prinsip perlakuan nasional (national treatment) yang mensyaratkan perusahaan-perusahaan asing dan domestik dan penanaman modal untuk diperlakukan secara sama (adil);
2) Prinsip transparansi yang mensyaratkan para anggotanya untuk menerapkan prinsip transparansi di dalam peraturan perundangannya (beserta implikasinya) terhadap anggota lainnya; dan
3) prinsip pengaturan konsiliasi dan penyelesaian sengketa yang Spesifik
Maka dari itu sangatlah sulit untuk diterima bahwa GATT sebagai suatu organisasi internasional yang mengatur masalah perdagangan dan tarif harus menangani masalah atau sengketa penanaman modal. Kasus ini memberi preseden ‘buruk’, bahwa setiap sengketa atau pokok perkara yang ternyata dapat mempengaruhi perdagangan, maka sengketa tersebut (baik berupa perburuhan, lingkungan, hak asasi manusia, dll) yang dapat dikatakan sebagai
terkait dengan perdagangan maka dapat ditafsirkan pula sebagai sengketa yang terkait dengan perdagangan (trade related). Kehendak Amerika Serikat untuk memasukkan isu ini telah dimulai di tahun 1981 tatkala Amerika Serikat mengeluarkan suatu kebijakan perdagangannya yang tertuang di dalam '1981 White Paper.' Dokumen ini menyatakan keinginan pemerintah Amerika Serikat untuk memasukkan isu penanaman modal ke dalam perundingan perdagangan. Amerika Serikat menghendaki masuknya TRIMS ini yang akan mencakup antara lain:
a. pengaturan mengenai upaya-upaya yang mengganggu aliran perdagangan dan penanaman modal dengan merugikan negara anggota lainnya;
b. hak untuk melakukan penanaman modal;
c. pemberlakuan prinsip national treatment dan MFN untuk penanaman modal yang baru.
Uraian di atas menunjukkan, upaya hukum intenasional untuk mengatur penanaman modal asing tampaknya masih sangat sulit. Hukum di bidang ini yang telah berkembang pada awal abad ke 20, ternyata belum dapat berkembang secara memuaskan. Meskipun telah cukup banyak kajian dilakukan oleh para sarjana dan berbagai organisasi internasional, namun tidak ada satu aturan pun yang dapat mencakup semua aspek dari bidang penanaman modal ini. Di samping itu, tampak bahwa pembentukan aturan-aturan multilateral di bidang ini masih jauh dari kenyataan. Alasan utamanya, pertama, adanya pendangan yang berbeda antara negara
maju dan sedang berkembang sehubungan dengan tetap adanya dua kepentingan yang berbeda mengenai penanaman modal. Kedua, terdapatnya berbagai organisasi regional dengan berbagai bentuk perjanjian regional di bidang penanaman modal. Organisasi-organisasi ini berupaya membentuk suatu hukum perjanjian di bidang ini. Ketiga, adanya fakta seperti tesebut di atas bahwa organisasi internasional multilateral hingga saat ini hanya dapat merumuskan aturan-aturan penanaman modal yang sifatnya sektoral atau sebagian kecil saja dari penanaman modal. Keempat, adanya upaya yang ‘terbatas’ yang gagal untuk mencakup semua sektor akan mengakibatkan gagalnya upaya tersebut. Upaya terbatas yang bersifat tanggung ini tampak misalnya dalam hal pembahasan mengenai MAI.
NEGOSIASI TRIMs DALAM PUTARAN URUGUAY (URUGUAY ROUND)
Upaya lama Amerika Serikat untuk menempatkan isu atau agenda penanaman modal dalam GATT cukup berhasil ketika perundingan putaran Uruguay diluncurkan. Namun demikian konflik antara negara maju dan negara sedang berkembang kembali berlangsung selama perundingan GATT (Uruguay) mengenai masalah TRIMs ini. Konflik utama yang terjadi adalah adanya perbedaan pandangan di antara dua kelompok negara ini mengenai sifat TRIMs. Beberapa negara maju (industri) beranggapan, TRIMS bertentangan dengan berbagai aturan atau pasal GATT. Sedangkan negara sedang berkembang pada umumnya berpendapat, upaya-upaya penanaman modal (investment measures atau TRIMs) bukan atau tidak dibuat untuk merintangi perdagangan. Upaya penanaman modal ini semata-mata ditujukan untuk memenuhi tujuan pembangunan negara (sedang berkembang), termasuk untuk tujuan industrialisasi dan pembangunan. Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa cukup banyak pemerintah di dunia yang telah menerapkan upaya penanaman modal ini. Pandangan ini menyatakan, dalam merundingkan aturan-aturan mengenai TRIMs, maka kajian terhadap pasal-pasal GATT perlu dilakukan untuk memberi perlindungan yang cukup terhadap hak-hak dari para peserta perundingan. Pandangan lain yang juga berbeda adalah mengenai tujuan dari perundingan di bidang ini. Sedangkan sarjana baru lainnya berkeinginan untuk membuat aturan-aturan yang baru dan lebih luas mengenai TRIMs. Sebaliknya, negara sedang berkembang menentang upaya ini. Negara-negara ini berpendapat, negosiasi harus dibatasi hanya untuk menguraikan aturan-aturan atau pasal-pasal GATT yang ada yang mungkin dapat diterapkan terhadap TRIMs. Negara-negara ini juga meminta agar negosiasi harus memberikan kesempatan yang lebih luas dan kebebasan kepada negara sedang berkembang untuk mempertimbangkan tujuan pembangunannya. Terdapat tiga alasan mengapa Deklarasi Punta Del Este memuat mandat yang tidak terlalu ambisius. Pertama, di antara negara maju sendiri masih terdapat tujuan yang berbeda mengenai hasil negosiasi yang akan dikeluarkan. Kedua, isu atau agenda perundingan lainya di dalam GATT ternyata juga menarik perhatian sebagian besar para perunding, khususnya perundingan mengenai GATS dan TRIPS. Ketiga, negara sedang berkembang pada umumnya dengan keras menentang adanya setiap upaya pembahasan agenda mengenai TRIMs. Deklarasi di atas mengungkapkan bahwa negosiasi mengenai agenda penanaman modal memuat hal-hal berikut:
(1) Negosiasi dibatasi hanya kepada upaya-upaya penanaman modal yang mempengaruhi perdagangan (TRIMs).
(2) Deklarasi mengakui pasal-pasal GATT dapat diterapkan terhadap TRIMs.
(3) Perundingan diperlukan guna membentuk pengaturan di masa depan yang mengatur TRIMs guna mencegah dampak yang merugikan terhadap perdagangan.
Suatu komisi khusus yang dibentuk untuk mengkaji masalah penanaman modal ini bertemu di Montreal pada bulan Desember 1988. Pertemuan ini telah berhasil merumuskan tujuan dari perundingan TRIMs, yakni sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi lebih lanjut dampak-dampak dari perdagangan yang restriktif dan mengganggu upaya-upaya penanaman modal yang dapat tercakup dalam pasal-pasal GATT; (b) Mengidentifikasi dampak dari perdagangan yang bersifat restriktif dan dampak merugikan dari upaya-upaya penanaman modal yang baik tercakup dalam aturan-aturan GATT namun relevan dengan mandat sebagaimana tercantum dalam the Punta del Este Ministerial Declaration.
b. Mengkaji kemungkinan pemberlakuan aspek-aspek pembangunan dalam aturan-aturan penanaman modal (TRIMs Agreement);
c. Upaya-upaya untuk mencegah adanya dampak perdagangan yang merugikan termasuk, apabila memungkinkan, dirumuskannya aturan-aturan baru apabila pasal-pasal GATT tidak dapat mengatur upaya-upaya penanaman modal yang terkait dengan perdagangan.
d. Masalah-masalah lainnya seperti bentuk-bentuk penanaman modal dan implementasinya.
Dalam usulan awalnya, Amerika Serikat mengemukakan 3 (tiga) bentuk kategori dan mengidentifikasi pasal serta prinsip-prinsip GATT yang relevan dengan TRIMs, yakni:
(1) Upaya-upaya yang membatasi penjualan, pembelian dan penggunaan (produk-produk) impor di dalam negara penerima (Pasal III, XI, XIII, dan XV GATT);
(2) Upaya-upaya yang membatasi kemampuan negara ketiga untuk mengekspor (Pasal XI dan XIII GATT), dan
(3) Upaya-upaya yang memaksa peningkatan ekspor dari negara tuan rumah atau yang dapat mengganggu aliran perdagangan di pasar dunia (Pasal XVI dan XVII).
EC mengemukakan 8 TRIMs yang memenuhi krtieria yang ditujukan kepada ekspor dan impor dari suatu perusahaan yang dapat mempengaruhi perdagangan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah: persyaratan penggunaan produk lokal (local content), persyaratan untuk membuat suatu produk tertentu (manufacturing), pelaksanaan ekspor tertentu (export performance), kewajiban membuat produk tertentu (product mandatory), persyaratan untuk menyimbangi neraca perdagangan (trade balancing), pembatasan nilai tukar mata uang (exchange restrictions), persyaratan penjualan di dalam negeri (domestic sales), dan pembatasan pembuatan suatu barang mengenai komponen dari suatu produk final (manufacturing limitations concerning components of the final product). Negara-negara maju menanggapi pendapat atau seruan negara berkembang di atas dengan positif. Namun mereka kemudian menyatakan bahwa perlu dibuat aturan-aturan lebih lanjut guna menghindari adanya dampak-dampak yang merugikan terhadap perdagangan. The Negotiating Group tidak mampu menjembatani silang pendapat ini. Hal-hal yang masih belum dapat dipecahkan adalah:
a. ruang lingkup TRIMs;
b. apakah beberapa TRIMs tertentu harus dilarang di dalam aturan baru; dan
c. apakah suatu perjanjian mengenai TRIMs harus pula mengatur di dalamnya ketentuan mengenai praktek bisnis restriktif dari perusahaan swasta (restrictive business practices of private enterprises.
Mengingat terdapat perbedaan kepentingan yang tajam antara negara maju dan negara sedang berkembang serta tugas dari perundingan ini yang cukup sulit, hasil dari perundingan Uruguay, sebagaimana tercantum dalam perjanjian TRIMs (the TRIMs Agreement), masih jauh dari komprehensif.
PERJANJIAN WTO MENGENAI TRIMS
Teks perjanjian TRIMs memuat upaya-upaya penanaman modal yang dilarang, jangka waktu transisi untuk negara-negara anggota untuk menghapus praktek-praktek yang dilarang. Perjanjian tersebut juga mengakomodasi kepentingan negara sedang berkembang. Perjanjian membolehkan negara berkembang untuk tidak menerapkan ketentuan-ketentuan Perjanjian untuk sementara waktu. Perjanjian juga memuat suatu ketentuan untuk meninjau kembali muatan Perjanjian TRIMs. Perjanjian TRIMs seperti dikemuakkan di atas, tidaklah komprehensif. Perjanjian ini termuat dalam Annex 1 dari Teks Uruguay Round Agreement.5 Namun demikian perjanjian ini merupakan perjanjian yang tersingkat dibandingkan dengan perjanjianperjanjian lainnya. Perjanjian hanya memuat 9 (sembilan) pasal ditambah daftar ilustrasi TRIMs. Preambul Perjanjian TRIMs memuat dan menegaskan putusan mandat Deklarasi Punta Del Este bahwa beberapa upaya penanaman modal tertentu "can cause trade-restrictive and distorting effects" (' dapat menyebabkan rintangan terhadap perdagangan dan
berakibat yang merugikan'). Pasal 1 Perjanjian menyatakan bahwa perjanjian hanya terkait dengan perdagangan di bidang barang (yang terkait dengan penanaman modal). Pada pokoknya hasil dari perjanjian TRIMS ini merupakan penegasan kembali prinsip-prinsip pokok, yaitu the National Treatment (Pasal III) (National Treatment on Internal Taxation and
Regulation) dan larangan penggunaan restriksi kuantitatif (kuota) Pasal XI (General Elimination of Quantitative Restrictions) Pasal 3 menyatakan bahwa semua pengecualian yang termuat dalam GATT (GATT 1994) akan tetap berlaku terhadap ketentuan pasal-pasal Perjanjian TRIMs, seperti misalnya moral masyarakat, perlindungan lingkungan, keamanan nasional, dll. Pasal 4 secara khusus untuk negara sedang berkembang. Pasal ini membolehkan negara-negara ini untuk menyimpangi untuk sementara waktu ketentuan pasal 2, sepanjang dan sesuai dengan ketentuan pasal III dan XI GATT dapat disimpangi sesuai dengan Pasal XVIII GATT 1994, the Understanding on the Balance-of- Payments of GATT 1994 dan Deklarasi mengenai Upaya-upaya Perdagangan yang diambil guna tujuan penyeimbangan neraca perdagangan (Declaration on Trade Measures taken for Balance-of- Payment Purposes of 28 November 1979). Pasal 5 mensyaratkan negara anggota untuk menotifikasi kepada Dewan Perdagangan Barang (the Trade in Goods Council) dalam jangka waktu 90 hari setelah berlakunya Perjanjian WTO semua TRIMs yang tidak sesuai yang negara-negara anggota terapkan (ayat 1). Pasal 6 memuat kewajiban transparansi di dalam menerapan perjanjian TRIMs. Pasal ini mensyaraktan kewajiban notifikasi kepada Sekretariat WTO mengenai publikasi adanya TRIMs, termasuk TRIMs yang diterapkan oleh pemerintah daerah dan atau pejabatpejabat yang memiliki kewengan di bidang kebijakan penanaman modal di dalam wilayah kekuasaannya. Pasal 7 memuat pembentukan badan baru, yaitu the Committee on Trade-Related Investment Measures (the "Committee") (Ayat 1. Pasal 8 terkait dengan penyelesaian sengketa TRIMs. Pasal ini memberlakukan pasal XXII-XXIII GATT 1994. Ketentuan penyelesaian sengketa ini kemudian mengacu pula kepada Annex 2 mengenai the Dispute Settlement Understanding. Pasal 9 menyatakan bahwa the Council for Trade in Goods akan meninjau Perjanjian TRIMs dalam jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya Perjanjian. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mengusulkan amandemen terhadap muatan atau isi daftar ilustrasi dan mempertimbangkan ketentuan mengenai kebijakan investasi (the scope of complimentary provisions on investment policy) dan kebijakan persaingan (competition policy). Berikut adalah daftar ilustrasi yang dilarang berdasarkan Perjanjian TRIMs:
(i) Berdasarkan perlakuan nasional yang dikeluarkan untuk memperoleh suatu keuntungan dalam hal penerapan:
a. persyaratan untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan produk-produk lokal oleh perusahaan (local content requirement); atau
b. pembelian atau penggunaan suatu produk impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai dari produk lokal yang diekspor (trade balancing requirement);
(ii) TRIMs yang tidak sesuai dengan kewajiban Pasal XI ayat 1,
yakni:
a) import produk hingga jumlah tertentu yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai produk yang diekspor (trade balancing);
b) impor produk dengan membatasi akses perusahaan kepada nilai mata uang asing hingga sejumlah masuknya jumlah mata uang ke perusahaan tersebut (foreign exchange restrictions); atau
c) ekspor suatu produk yang dikaitkan dengan nilai produk lokal (domestic sales requirement).
Namu ada beberapa pembatasan dari Perjanjian TRIMs ini. Pertama, perjanjian tidak memberi batasan atau test objectif guna mengidentifikasi suatu upaya yang tergolong ke dalam TRIMs. Kedua, Perjanjian TRIMs dapat dianggap sebagai suatu kemunduran di dalam hal penegakan hukum. Ketiga, kekurangan lainnya dari hasil Putaran Uruguay mengenai TRIMs ini adalah bahwa Perjanjian ini telah gagal untuk memasukkan ketentuan-ketentuan penting mengenai praktek bisnis yang restriktif. Keempat, meskipun Perjanjian TRIMs mengakomodasi kepentingan negara sedang berkembang, namun perjanjian ini telah gagal untuk memberikan perlakuan khusus dan non-resiprositas untuk negara berkembang. Di samping itu, pasal 5 ayat 2 membolehkan negara sedang berkembang untuk memperpanjang jangka waktu transisi untuk melaksankaan Perjanjian. Namun demikian, untuk dapat memperoleh perpanjangan waktu transisi ini tidaklah mudah. Pasal 5 ayat 2
menentukan 2 persyaratan:
(1) Perjanjian mensyaratkan negara sedang berkembang bersangkutan untuk menunjukkan bahwa negara tersebut menghadapi kesulitan di dalam melaksanakan Perjanjian TRIMs.
(2) Permohonan perpanjangan waktu transisi tersebut tidak diberikan secara otomatis. Permohonan tersebut tunduk pada persetujuan dari the Council for Trade in Goods setelah badan ini mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari negara yang bersangkutan.
ARTI PENTING PERJANJIAN TRIMs
Hasil dari negosiasi Putaran (Perundingan) Uruguay, memiliki arti yang cukup penting. Alasannya:
(1) Dimasukkannya penanaman modal dalam Perjanjian WTO merupakan hasil yang mendasar. Belum pernah ada aturan atau perjanjian yang sebelumnya memuat penanaman modal dikaitkan dengan perdagangan.
(2) Berhasilnya perundingan mengenai penanaman modal dalam Putaran Uruguay ini telah menciptakan suatu lembaga baru, yaitu WTO dengan badan khususnya 'Committee on TRIMs'.
(3) Perjanjian TRIMs memberikan sumbangan penting terhadap pembangunan hukum internasional di masa depan di bidang penanaman modal.
(4) Perjanjian TRIMs membantu negara anggotanya untuk lebih transparansi dalam kebijakan hukum penanaman modalnya.
(5) Perjanjian TRIMs memberi ketentuan yang berimbang di antara kepentingan negara maju dan sedang berkembang (dalam hal kebijakan penanaman modalnya).
(6) Dimasukkanya prosedur penyelesaian sengketa dalam perjanjian TRIMs merupakan suatu perkembangan baru di dalam hukum perdagangan internasional.
Karena hasil dari negosiasi Putaran Uruguay mengenai penanaman modal relatif singkat, namun implikasi dari perjanjian ini pun tampaknya kecil dan tidak terlalu membebani negara-negara anggotanya secara signifikan. Namun demikian, larangan persyaratan kandungan lokal (local content requirement) dan persyaratan neraca perdagangan (trade balancing requirement) telah memaksa negara sedang berkembang untuk secara bertahap memberhentikan pencantuman persyaratan terhadap penanaman modal asing untuk menggunakan kandungan atau komponen lokal. Hal ini merupakan implikasi negatif karena negaranegara ini acapkali menerapkan persyaratan-persyaratan ini untuk memajukan industri dalam negeri dan pembangunan ekonominya. Pendapat dua sarjana tesebut di atas secara singkat merekomendasikan negara sedang berkembang untuk:
(1) berupaya lebih keras untuk memasukkan atau memberi pengaruh dan inisiatif secara teknis tentang keinginan dan usulan negara-negara sedang berkemang ke dalam agenda-agenda perundingan mengenai TRIMs;
(2) negara-negara sedang berkembang untuk semakin giat membentuk blok-blok atau aliansi di antara mereka; dan
(3) mendesak negara berkembang untuk lebih proaktif dalam hal memberi proposal atau usulan tandingan terhadap proposal atau usulan negara maju.
Pendapat Mashayekhi dan Gibbs tersebut patut disambut positif. Pendapat tersebut juga penting mengingat dilihat dari kenyataannya dewasa ini, posisi negara sedang berkembang memang sangat lemah.
PERKEMBANGAN PERJANJIAN TRIMs DALAM KONFERENSI TINGGI WTO
Sejak Putaran Uruguay, WTO telah melangsungkan serangkaian pertemuan tingkat tinggi para anggota WTO (WTO Ministerial Conference). Pertemuan tersebut adalah:
1. Pertemuan Tingkat Tinggi Singapura (Singapore Ministerial Conference) 9 – 13 Desember 1996
2. Pertemuan Tingkat Tinggi Jenewa (Geneva Ministerial Conference) 18 and 20 Mei 1998; dan
3. Pertemuan Tingkat Tinggi Seattle (Seattle Ministerial Conference), 30 November – 3 Desember 1999;
4. Pertemuan Tingkat Tinggi Doha (Doha Ministerial Conference) 10 – 14 November 2001
5. Pertemuan Tingkat Tinggi Cancún (Cancún Ministerial Conference) 10 - 14 September 2003.
1. Pertemuan Tingkat Tinggi Singapura, 1996
Pertemuan Ministerial Conference WTO pertama diselenggarakan di Singapura dari tanggal 9 hingga 13 Desember 1996. Sebanyak 120 negara anggota WTO menghadiri Pertemuan
Tingkat Tinggi WTO pertama ini. Pertemuan Singapura melahirkan dua keputusan (Deklarasi) sebagai berikut:
1. Ministerial Declaration; dan
2. Ministerial Declaration on Trade in Information Technology Products.
Dari teks tersebut, tersimpul 5 keputusan sebagai berikut:
a. Negara peserta untuk pertama kalinya sepakat dan mengakui keterkaitan erat antara penanaman modal dan kebijakan kompetisi (persaingan), dua bidang yang disepakati sebagai agenda yang menyatu untuk bahan pembahasan di masa depan. Hubungan kedua bidang ini, penanaman modal dan persaingan, dipandang sebagai 'The Singapore Issue'.
b. Negara peserta sepakat untuk membentuk dua kelompok kerja, yaitu satu kelompok kerja guna mengkaji hubungan antara perdagangan dan penanaman modal.
c. Negara anggota menyadari dan menganggap penting upaya-upaya lembaga-lembaga internasional seperti misalnya UNCTAD, yang juga berupaya merumuskan aturan-aturan di bidang penanaman modal. Untuk itu, negara anggota sepakat bahwa WTO perlu bekerja sama erat dengan lembaga-lembaga tersebut dalam berupaya mencari rumusan yang tepat untuk mengatur perdagangan dan penanaman modal;
d. Negara-negara anggota sepakat pula bahwa di dalam pembahasan substansi aturan-aturan penanaman modal, pertimbangan faktor pembangunan dari negara sedang berkembang perlu mendapat perhatian;
e. Negara-negara anggota sepakat bahwa hasil kerja dari (dua) kelompok kerja tersebut di atas diberi waktu 2 tahun yang hasilnya akan ditinjau ulang untuk menentukan tindak lanjut dari hasil kerja kedua kelompok kerja tersebut.
2. Pertemuan Tingkat Tinggi Jenewa 1998
Pertemuan Ministerial Conference WTO Kedua diselenggarakan di Jenewa dari tanggal 18 hingga 20 Mei 1998. Dibandingkan dengan Pertemuan Singapura, pertemuan kedua ini tidak secara khusus membahas isu penanaman modal. Di samping krisis moneter, masalah perdagangan dan ekonomi yang melilit negara sedang berkembang dan miskin WTO terutama masalah beban utang luar negeri juga berpengaruh terhadap hasil pertemuan Jenewa. Hasil pertemuan secara khusus menegaskan komitmen negara-negara anggota untuk menangani masalah marginalisasi negara miskin karena lilitan utang. Khusus untuk penanaman modal, pertemuan Jenewa tidak secara khusus menyinggungnya. Hasil pertemuan hanya menegaskan kembali komitmen negara-negara anggota untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati atau dihasilkan dalam pertemuan Singapura 1996. Hasil Jenewa 2001 menegaskan pula bahwa hasil-hasil pertemuan Singapura akan dibahas lebih lanjut dalam Pertemuan Tingkat Tinggi ke-3.
3. Pertemuan Tingkat Tinggi Seattle 1999
Pertemuan tingkat tinggi WTO atau the Third WTO Ministerial Conference diselenggarakan di kota Seattle, Washington State, Amerika Serikat, 30 November dan 3 Desember 1999. Umumnya LSM menggugat keberadaan WTO. Mereka mengkritik WTO sebagai badan negara maju. Keberadaan WTO tidak membantu sama sekali kedudukan negara sedang berkembang dan miskin. WTO dituding sebagai badan perdagangan dunia yang tidak demokratis, merugikan petani, merusak lingkungan, tidak pro-pekerja, dll.
4. Pertemuan Tingkat Tinggi Doha, 2001
Pertemuan tingkat tinggi (Ministerial Conference WTO) keempat ini berhasil menghasilkan beberapa keputusan (berupa deklarasi). Keseluruhan keputusan disahkan pada tanggal 14 November 2001. Di samping penjelasan terhadap paragrap 20 hingga 22, hasil dari kesepakatan Doha memuat penjelasan (dan penegasan) mengenai keterkaitan erat antara perdagangan dan penanaman modal. Deklarasi menyatakan bahwa masalah hubungan kedua bidang ini sejak awal dipandang sebagai 'Singapore Issue'. Seperti telah dinyatakan di atas, untuk mengkaji masalah 'Singapore Issue' ini suatu 'working group' telah dibentuk berdasarkan Hasil Singapore Ministerial Conference tahun 1996. Deklarasi menyatakan pula beberapa prinsip seperti prinsip kebutuhan untuk menyeimbangkan kepentingan negara-negara (negara investor dan negara penerima modal asing), hak negara untuk mengatur penanaman modal, prinsip pembangunan, kepentingan umum dan keadaan-keadaan khusus dari negara tertentu. Deklarasi juga menekankan perlunya dukungan dan kerja sama internasional untuk negara sedang berkembang atau negara kurang mampu, dan pentingnya koordinasi dengan organisasi internasional lainnya seperti misalnya the UN Conference on Trade and Development (UNCTAD).
5. Pertemuan Tingkat Tinggi Cancún, 2003
Pertemuan Tingkat Tinggi WTO kelima (the Fifth WTO Ministerial Conference) diselenggarakan di kota Cancún, Mexico dari tanggal 10 hinggga 14 September 2003. Tujuan utama dari pertemuan tingkat tinggi ini adalah untuk melihat sampai berapa jauh kemajuan yang telah dicapai dalam perundingan dan pekerjaan berdasarkan Agenda Pembangunan Doha (the Doha Development Agenda).
SENGKETA PENANAMAN MODAL DI WTO: SENGKETA MOBIL NASIONAL RI
Sengketa ini menyangkut program mobil nasional (Mobnas) RI. Program diluncurkan pada tahun 1993 ketika pemerintah mengeluarkan rencana mobnasnya. Berdasarkan program ini, pemerintah memberikan keuntungan (perlakuan khusus) dalam bentuk tarif dan pajak kepada
produsen mobil Indonesia. Keuntungan ini diberikan kepada produsen yang bersedia menggunakan kandungan dalam negeri untuk mobnas (the local content of the finished vehicles). Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia, yaitu perusahaan dari Jepang, Masyarakat Eropa (ME) dan Amerika Serikat (AS) protes. Mereka mengklaim program Mobnas ini diskriminatif dan melanggar aturan perdagangan internasional berdasarkan GATT. Jepang, ME dan AS melancarkan klaim secara terpisah mengenai program Mobnas Indonesia ini. Mereka mengklaim, upaya atau kebijakan pemerintah RI tersebut melanggar kewajiban Indonesia berdasarkan, antara lain, Pasal I dan III, Pasal 2 Perjanjian TRIMs, Pasal 3, 6 dan 28 Perjanjian SCM (Subsidi dan Bea Masuk Imbalan), dan Pasal 3, 203 dan 65 TRIPS.4 Mereka memohon konsultasi terpisah dengan pemerintah RI pada bulan Oktober 1996. Setelah konsultasi gagal, mereka mengajukan pembentukan panel. Tiga Panel terbentuk pada bulan Juni dan Juli 1997 untuk mengadili tuntutan 3 negara tersebut. Tetapi kemudian DSB memutuskan bahwa panel cukup satu saja untuk mengadili sengketa ini berhubung kasus, tuduhan dan tergugatnya sama. Dalam putusannya, Panel menyimpulkan bahwa persyaratan kandungan lokal (the local content requirements) yang termuat dalam program Mobnas tahun 1993 dan 1996 melanggar Pasal 2 Perjanjian TRIMS.
Panel juga setuju dengan ME bahwa program Mobnas telah merugikan ME sehubungan dengan pengertian Pasal 5 (c) Perjanjian SCM. Namun Panel menolak bahwa RI telah melanggar Pasal 28 para. Perjanjian SCM dan Pasal 65 ayat 5 Perjanjian TRIPs yang digugat Amerika Serikat. Menghadapi putusan panel, RI ternyata tidak mengajukan banding. Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah mengapa RI tidak mengajukan upaya ini. Dalam persidangan, Korea Selatan dan India berpihak dan membela Indonesia. Tetapi pembelaan dua negara ini tidak meyakinkan panel. Alasan yang hingga kini diterima, pada waktu Panel WTO menyidangkan dan memutus sengketa tersebut, ekonomi dan moneter RI dalam keadaan yang sulit. Ketika Panel mengeluarkan putusannya pada tanggal 2 Juli 1998, RI masih menderita krisis moneter dan sangat membutuhkan bantuan dana dari donor-donor internasional, khususnya IMF. Terungkap bahwa sebagai bagian dari skema bantuan dana IMF, Indonesia diharuskan untuk mengakhiri program Mobnasnya. Sengketa di atas menunjukkan bahwa Panel DSB WTO, negara penuntut tidak ragu lagi melihat Perjanjian TRIMs sebagai perjanjian yang efektif. Hal ini tampaknya penting bagi eksistensi Perjanjian TRIMs. Telah dikemukakan di muka, Perjanjian TRIMs adalah perjanjian yang 'gagal' dibanding perjanjian lain, khususnya perjanjian TRIPS atau GATS. Selain itu, kekosongan pemahaman tentang TRIMs itu sendiri tidak begitu dipersoalkan dalam persidangan. Hal ini semua memberi dukungan positif terhadap Perjanjian TRIMs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar