Selasa, 04 November 2008

PERBANDINGAN EKSTRADISI DAN MLA

By : Mekar Sinurat

Ekstradisi menurut UU RI No. 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang mengadili dan menghukumnya. Ekstradisi dilakukan atas dasar suatu “perjanjian” (treaty) antara Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan dengan Undang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 dan 2).

Pada umumnya ekstradisi adalah sebagai akibat dari hak asylum yaitu tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan. Namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang pelaku kejahatan yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.

AZAS-AZAS UMUM EKSTRADISI

Azas Double Criminality (asas kejahatan rangkap)

Maksud azas ini adalah perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan. Azas ini tercantum dalam daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan. Namun ekstradisi terhadap kejahatan yang tidak tersebut dalam daftar kejahatan dapat juga dilakukan atas dasar “kebijaksanaan” oleh negara Diminta (Pasal 4 ayat 1 dan 2).

Penolakan terhadap permohonan Ekstradisi

Azas bahwa jika suatu kejahatan tertentu oleh negara diminta dianggap sebagai kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak. Namun terhadap kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradisikan sepanjang diperjanjikan antara Negara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan (Pasal 5 ayat 1 dan 3).

Azas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri. Penyimpangan terhadap azas ini dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan lebih baik diadili ditempat dilakukannya kejahaan (Pasal 7 ayat 1 dan 2).

Azas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan semuanya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi (Pasal 8).

Azas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya (Psl 9).

Azas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak (Non bis in idem) (Pasal 10).

Azas bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah kadaluarsa (Pasal 12).

Azas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisikan selain dari pada untuk kejahatan maka ia diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujui (Pasal 15).

DASAR HUKUM EKSTRADISI. Permintaan ekstradisi didasarkan pada Perundang-undangan Nasional, Perjanjian Ekstradisi, Perluasan Konvensi Internasional, dan Tata Krama Internasional.

UNSUR-UNSUR EKSTRADISI. Pada umumnya penyerahan pelaku kejahatan dilakukan karena terdapat unsur-unsur sebagai berikut : Pelaku kejahatan (fugitive offender), Negara Peminta (requesting state), Negara Diminta (requested state), Permintaan dari negara peminta, Tujuan penyerahan pelaku kejahatan.

DISGUISHED EXTRADITION. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada dasar hukum sebagaimana tersebut diatas. Bila terjadi suatu permintaan ekstradisi dimana tidak sesuai dengan dasar hukum tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar suatu sikap tata cara suatu negara terhadap negara lain baik untuk kepentingan timbal balik atau sepihak. Praktek ekstradisi dengan tata cara seperti ini disebut “Disguished Extradition” atau ekstradisi terselubung.

PERJANJIAN BILATERAL DALAM BIDANG EKSTRADISI

Perjanjian Ekstradisi yang telah dihasilkan Pemerintah Indonesia dengan negara lain adalah sebagai berikut :

1. RI – Malaysia UU No. 9/ 1974

2. RI – Philipinan UU No. 10/ 1976

3. RI – Thailand UU No. 2/ 1978

4. RI – Australia UU No. 8/ 1994

5. RI – Hongkong UU No. 1/ 2001

6. RI–Korea Selatan belum diratifikasi

Diharapkan perjanjian ekstradisi ini dapat dikembangkan ke negara-negara lain, terutama negara anggota ASEAN.

Sedangkan Mutual Legal Assistance atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer kustodi, dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.

MLA ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan Konvensi PBB, misalnya, dalam United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerja sama intem-asional; antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No 1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44A. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia.

Objek MLA antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA. Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa peng-geledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat , dan pengambilan keterangan.

Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central Authority . Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.

Salah satu aspek dari MLA adalah sharing forfeited asset . Aset yang disita sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut, baik untuk biaya operasional atau lainnya. Ini suatu masalah baru. Indonesia memiliki ketentuan untuk mengenai hal ini dalam Pasal 57 UU No 1 tahun 2006, namun beberapa Negara, seperti Thailand, Tidak. Di Amerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada tahun itu ada dana sebesar USD 1 88 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapal memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya ''facilitating assistance"' misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank akan memperoleh bagian sampai 40%. Indonesia perlu mengundangkan dan membuat per aturan pelaksanaan soal ketentuan Pasal 57 mengenai masalah sharing forfeited asset ini. Ini menjadi membuka peluang keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di luar negeri menjadi semakin besar. Nilai besaran jatah negara yang membantu ini dapat dirundingkan oleh Menteri Hukum dan HAM sudah tentu dengan mempertimbangkan peranan negara tersebut.

Secara umum terdapat dua alasan bagi suatu Negara untuk melakukan ekstradisi pertama goodwill dan keprihatinan internasional. Suatu perjanjian ekstradisi yang terjadi antara Negara yang tidak mempunyai perjanjian hanya terjadi karena komitmen internasional. Kedua, komitment dimungkinkan karena adnaya perjanjian antar Negara. Sedangkan terdapat tiga alasan bagi suatu Negara untuk melaksanakan mutual legal assistance yaitu dua diantaranya sama dengan ekstradisi dan yang ketiga adalah adanya persetujuan internasional dengan Interpol yang dilakukan oleh pihak kepolisian suatu Negara.


1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor