Jumat, 31 Oktober 2008

PENERAPAN ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE

PADA BAJU KORUPTOR

By: Mekar Sinurat (110110060126)


Menurut Asas Presumption of Innocence atau asas Praduga tak bersalah, seseorang yang diduga melakukan kejahatan atau tindak pidana wajib untuk tidak dianggap bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan yang pasti. Berdasarkan asas ini setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia yang tidak bersalah, dengan segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Dia tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, secara kejam, secara tidak manusiawi, ataupun diperlakukan di luar batas-batas perikemanusiaan. Bahkan andaikata kesalahan yang didakwakan kepadanya sudah terbukti dan dijatuhi putusan oleh pengadilan dan kekuatan mengikat yang pasti, dia juga harus tetap diperlakukan selayaknya seperti manusia biasa dengan segala hak asasinya.

Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, kendati secara universal asas praduga tidak bersalah diakui dan dijunjung tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita juga menganut asas praduga bersalah. Sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud. Dalam reformasi hukum di Indonesia dalam menerapkan asas praduga tak bersalah adalah pada legal guilt bukan pada factual guilt. Namun demikian dalam berbagai kasus pidana yang menimpa para penyelenggara negara kita, dengan memahami asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah secara hakiki, maka logikanya harus dibalik, para penyelenggara negara yang terlibat perkara pidana harus mampu memberikan teladan melalui menon-aktifkan diri dari jabatannya sampai ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tanpa mengesampingkan asas praduga tidak bersalah, para penyelenggara negara itu adalah public figure yang seharusnya memberi teladan kepada masyarakat. Sementara dengan bersandarkan deskriptif faktual atas dasar bukti permulaan yang cukup, mereka dianggap telah melakukan tindak pidana yang dimaksud. Berkaitan dengan uraian di atas Praduga tak bersalah adalah pada level legal guilt yang tidak dapat dipertentangkan dengan factual guilt. Namun dalam penerapannya perlu juga dikaji yang lebih mendalam sehingga asas tersebut tidak digunakan sebagai alasan atau tameng bagi para pelanggar hukum (terutama yang kuat baik secara ekonomi, sosial atau politik) untuk berlindung. Dan perlu adanya kode etik yang secara moral mengatur serta berlaku juga bagi seluruh warganegara tanpa adanya diskriminasi sehingga tidak terjadi bagi aparat pemerintah yang terlibat perkara pidana masih tampil memimpin sidang di DPR dengan alasan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.

Kini kasus korupsi telah menjamur dan bahkan membudaya di bangsa ini. Pengertian budaya dalam istilah korupsi lebih berkaitan dengan kata membudaya yang dianggap sebagai sesuatu yang menjadi kebiasaan yang dianggap wajar, namun sebenarnya tidak benar, karena menyalahgunakan jabatan publik untuk kepentingan atau keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Masyarakat cenderung memberikan toleransi terhadap praktik-praktik korupsi dan tidak peduli pada kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena dapat mengambil keuntungan dari kekurangan tersebut. Budaya korupsi tumbuh subur ketika nilai-nilai tradisional setempat, etika atau nilai agama yang sudah diinterpretasikan bergabung dengan mentalitas modern, seperti konsumerisme dan egoisme.

Terkait dengan membudayanya praktik korupsi maka timbul ide dari KPK untuk membuat baju koruptor dengan alasan sebagai upaya untuk memberantas korupsi. Namun ternyata upaya tersebut mendatangkan pro kontra di masyarakat. Pasalnya dengan memakai baju yang bertuliskan “Koruptor” telah menyalahi asas Presumption of Innocent tersebut. Seharusnya sebelum dibuktikan di meja pengadilan bahwa seseorang dinyatakan melakukan perbuatan korupsi tidak ada wewenang pihak tertentu dalam hal ini KPK untuk menyatakan seseorang tersebut KORUPTOR. Korupsi memang sudah menjadi penyakit sosial yang merajalela di Indonesia dan perlu ada suatu jalan yang ampuh untuk menimbulkan efek jera, namun harus tetap juga memperhatikan norma-norma hukum yang sudah ada, artinya tidak boleh bertentangan. Kita harus menghormati proses hukum yang berlaku, sehingga pemakaian baju tersebut minimal saat pelaku koruptor ditetapkan sebagai tersangka. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka belum layak memakai baju koruptor. Perbedaan antara tahanan, tersangka, dan terdakwa harus jelas dalam posisi ini sehingga saat memakai baju koruptor tulisannya bisa berbeda.

Kita berharap dengan pemakaian baju tersebut merupakan schok terapi bagi mereka untuk berhati hati dalam menggunakan dana milik Negara baik dari APBN, APBD ataupun dana rakyat lainnya.

Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor