Senin, 05 Juli 2010

SAJUTHI LUBIS

Aku tak pernah bertanya kapan aku akan mati.
Tetapi aku selalu bertanya berapa banyak
yang dapat kulakukan sebelum aku mati.
(George Washington, Presiden Pertama Amerika Serikat)


Adakah kaitan antara karakter etnis atau suku tertentu dengan profesi tertentu? Mungkin ada, bisa jadi tidak. Yang jelas, dari sejak zaman pergerakan, di awal abad ke-20, banyak orang Batak yang jadi pionir atau tokoh yang disegani dalam perjalanan sejarah pers Indonesia. Hal itu antara lain terlihat dalam buku Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis Soebagijo I.N.

Salah satu yang tak mungkin diabaikan adalah Parada Harahap, sosok wartawan yang dianggap sebagai “nestor” jurnalis Indonesia. Tahun 1920-an, di usia 20-an, Parada sudah jadi penerbit sekaligus pengelola Bintang Timoer, yang menjadi suratkabat terbesar milik pribumi saat itu.

Sungguh keren, Parada lah mungkin satu-satunya wartawan yang memiliki mobil saat itu. Juga amat unik, karena dia mengelola, meliput, sekaligus jadi korektor di suratkabarnya. Gaya sekaligus pekerja keras. Parada juga salah seorang wartawan Indonesia pertama yang melakukan perjalanan jurnalistik, baik ke berbagai daerah di Indonesia maupun ke luar negeri. Ketika melakukan perjalanan jurnalistik ke Jepang, ia membuat kalangan pers Jepang terpesona dan menjulukinya “The King of Java Press”.



Tak kalah pionir, adalah Albert Manumpak Sipahutar yang dalam usia 20 tahun, 1934, merintis pendirian Antara, kantor berita pertama di Indonesia, bersama Adam Malik, yang saat itu baru berusia 18 tahun. Begitu pula Horas Siregar, yang umur 18 tahun merantau ke Kotabaru, Kalimantan, dan di sana menerbitkan mingguan Panggilan Waktu, yang dicetak di Surabaya.

Horas kemudian memindahkan penerbitannya ke Samarinda. Tapi di kota ini ia diadili karena dituduh pemerintah Belanda menghasut rakyat, hingga dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung. Betapa penting, konon di sana ia ditahan bersama tahanan politik sekelas Amir Sjarifudin. Horas kemudian memindahkan perjuangan persnya di Palu, Sulawesi Tengah, sampai akhir hidupnya.
Kurang lebih sama nekad dengan Horas, adalah Saruhum Hasibuan. Betapa hebat, umur 17 Saruhum sudah menjadi wartawan suratkabar Sin Tit Po di Surabaya. Namun, barangkali tidak ada wartawan Batak yang seajaib dan menggetarkan seperti Sutan Mangaraja Sajuthi Lubis.


Sajuthi Lubis lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, 1895. Tahun 1921 ia merantau ke Banjarmasin dan menulis untuk banyak suratkabar yang terbit di Jawa dan Medan. Tulisannya banyak berisi dakwah dan pembelaan terhadap nasib rakyat. Sajuthi kemudian jadi menantu seorang pengusaha kaya Kalimantan, H. Abdul Manaf, yang memodalinya menerbitkan majalah Persatoean di Samarinda.
Karena salah satu tulisannya di majalah Islam Bergerak, sebelum menerbitkan Persatoean, Sajuthi Lubis diadili dan dipenjarakan di Cipinang, Jakarta. Penahanan ini justru membuat Persatoean mendapat banyak simpati. Setelah Sajuthi Lubis keluar dari penjara, Persatoean makin maju pesat. Tapi kemajuan itu membuat Belanda jadi cemas. Sajuthi Lubis kembali dijebak ranjau delik pers. Persatoean pun mati.
Sekeluar dari penjara, Sajuthi aktif di politik dan menerbitkan Islam Bergerak. Tapi majalah ini mati setelah pendudukan Jepang. Sajuthi Lubis termasuk sosok wartawan Indonesia yang paling banyak diadili. Tercatat ia tujuh kali kena delik pers, selain delik politik lain.


Sejarah kehidupan memang banyak diwarnai kehadiran pribadi-pribadi yang menggetarkan hati. Mungkin pribadi itu bukan tokoh atau petinggi penting, tapi memiliki karakter mengesankan atau melakukan tindakan yang mengundang rasa hormat. Dan rasanya Sajuthi termasuk pribadi berkarakter seperti itu.

Sayang, perjuangan gigih Sajuthi berakhir dramatis. Sajuthi meninggal di Yogya, tahun 1943, dalam keadaan miskin. Harta yang diperolehnya dari mertuanya habis untuk penerbitan pers dan perjuangannya di bidang pergerakan.

Seperti kata George Washington, Sajuthi Lubis seperti tidak perduli apa yang akan terjadi pada dirinya, dan seberapa banyak yang ia korbankan. Ia hanya ingin memberi segala yang dimilikinya, ya hidupnya, ya hartanya untuk membela kebenaran dan perjuangan bangsanya. Saya ragu, apakah di zaman sekarang ada orang yang memiliki kepribadian pengabdian yang begitu menggetarkan. Adong do? *
Nestor Rico Tambunan




Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor