Murniwati boru Harahap ini lahir 31 Agustus 1944 di Rantau Parapat, Sumatera Utara.Di belakang kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk atau PIK Jakarta Utara, tak jauh dari pantai yang kini sudah menjadi rimba beton (dan akan masih bertambah), ada sebuah jalan tanah ke arah pantai. Di ujung jalan itu, kontras dengan rimba beton PIK yang mewah, terdapat hutan mangrove. Taman Wisata Alam Angke Kapuk namanya.
Kawasan itulah yang dikelola Murniwati, yang biasa dipanggil Ibu Murni. Di kawasan seluas 99,82 hektar itu terdapat vegetasi pepohonan mangrove atau pohon bakau. Ekosistem hutan mangrove ini makin parah kerusakannya, dipicu era reformasi yang kebablasan tahun 1998. Taman wisata alam (TWA) pun ikut dijarah dan lahannya dikapling-kapling petambak liar.
Saat ini, di kawasan itu terlihat banyak pohon bakau yang berumur sekitar 2,5 tahun. Masih muda untuk ukuran bakau. Sekitar 40 persen kawasan sudah ditanami. Rumah-rumah bambu berarsitektur khas didirikan untuk menjadikannya sebagai kawasan pendidikan lingkungan bagi anak-anak sekolah dan masyarakat umum.
Hutan bakau menjadi perhatian berbagai pihak karena ekosistem bakau yang terjaga memiliki fungsi yang sangat berguna. Mulai dari fungsi penentu produktivitas perairan, penyediaan habitat satwa, pengatur hidrologi, penjaga kualitas air, penjaga sistem dan proses alami, hingga pencegah bencana alam.
Saat banjir besar tahun lalu atau ketika air laut pasang naik (rob) yang mengakibatkan kawasan Jakarta Utara kebanjiran beberapa waktu lalu, kawasan TWA Angke Kapuk—juga PIK—tak terkena banjir.
“Airnya hanya naik, tetapi sekadar pasang alami, tidak meluap seperti tempat lain. Hutan bakau efektif menjadi benteng pertahanan terakhir dari ancaman banjir dan rob,” kata Murniwati, pengelola kawasan wisata itu.
Di tempat itu, seorang ibu rumah tangga sejak 1998 telah bergulat mempertahankan kawasan tersebut untuk tetap bertanam bakau. Selain telah menanam ribuan pohon bakau, ia juga masih menyemaikan ribuan bibit bakau. Ada yang baru disemai, ada pula yang sudah siap tanam.
Hobi “aneh”
Di kalangan ibu rumah tangga, hobi Murni menanam bakau dianggap banyak kalangan sebagai hobi “aneh”. “Iya, banyak yang bilang begitu. Kalau mau cari duit, ya harusnya saya nanam tanaman hias berharga mahal atau bikin vila di Bandung,” kata Murni yang sejak umur 16 tinggal di Bandung, Jawa Barat.
Untung saja hobi “aneh” itu didukung keluarga, termasuk suami. Murni menegaskan, dia bukan ahli bakau, bahkan dulu, saat berencana menanam bakau, ia tak paham apa fungsi bakau. Ia baru tahu saat berkunjung ke Benoa, Bali, dan melihat tanaman bakau yang bagus. “Mulai dari situ timbul keinginan saya untuk menanam bakau,” ucapnya.
Dengan bantuan berbagai pihak, Murni dan PT Murindra Karya Lestari selaku swasta mendapatkan hak pengusahaan TWA Angke Kapuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 537/Kpts-II/1997. TWA secara administrasi di bawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan (Dephut).
Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan wisata yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan penghutanan kembali atau rehabilitasi hutan mangrove dan kegiatan pariwisata alam (ekowisata). Sampai akhir April 2006, sekitar 40 hektar kawasan itu telah direhabilitasi dan ditanami kembali dengan berbagai pepohonan mangrove.
“Saya hanya ibu rumah tangga yang mencintai mangrove sejak lama. Jangan tanya saya jenis-jenis mangrove karena saya enggak tahu,” ujarnya. TWA yang dikelolanya terbuka untuk masyarakat umum yang ingin menanam bakau.
“Saya paling suka kalau yang datang siswa sekolah dasar. Mereka senang menanam, bahkan enggak mau disuruh gurunya berhenti,” cerita Murni. Anak- anak taman kanak-kanak juga sering mengunjungi tempat itu untuk menyemai. Masyarakat umum juga dipersilakan menanam.
Persoalan serius
Pedih hati Murni menyaksikan puing-puing arang bekas kantin yang dibakar orang. Pada Kamis (29/11) malam, fasilitas yang pertama kali dibangunnya untuk memulai menjalankan program ekowisata hutan mangrove itu ludes dilalap api.
“Tidak tahu siapa yang membakar. Sakit hati rasanya. Saya dengan penuh cinta menjaga tempat ini, menanaminya dengan bakau yang bermanfaat, tetapi tetap saja ada yang mengganggu,” kata Murni.
Kantin bambu itu merupakan bagian dari fasilitas yang ada di jalur trekking wisata pendidikan hutan bakau. Beberapa kali daerah itu digunakan masyarakat umum yang peduli lingkungan untuk gerakan menanam bakau.
TWA memang punya masalah dengan para petambak ilegal yang ingin kembali dan menguasai kawasan konservasi itu. Pikiran Murni lalu kembali tertuju pada awal-awal reformasi. Tahun 1998, ketika Murni baru menyemai bakau, ratusan orang menyerbu membawa golok.
“Saya diusir dan saya lari. Mereka juga menimbun 50.000 bibit mangrove yang saya tanam. Sekarang yang tersisa hanya satu rumpun bakau yang saya biarkan besar menjadi kenang-kenangan,” tuturnya. Ada puluhan petambak ilegal di lahan konservasi milik Dephut itu. Mereka tampaknya ingin kembali menguasai lahan tersebut.
Murni sempat berhenti mengurusi TWA. Tahun 2004, istri dari Bambang Haryo Soesilo ini kembali menanam bakau. Dengan dana dan kekuatan sendiri, ia sempat menjual beberapa barang berharga miliknya. Murni sampai mengerahkan pembantu rumah tangga dan tukang kebun yang saat itu total berjumlah 10 orang untuk menanam mangrove.
“Kami semua tak ada yang mengerti apa itu mangrove dan bagaimana cara menanamnya. Jadi, cuma ditanam sebisanya saja menggunakan rakit. Akhirnya, keponakan saya membuatkan sistem bronjong yang dilapisi karung, diisi lumpur, dan ditancapkan menggunakan patok,” katanya.
Belakangan para petambak kembali lagi menguasai lahan itu. Tanpa mengaitkan peristiwa pembakaran kantin, Murni berharap petambak ilegal bisa ditertibkan. Para petambak ilegal yang sudah membuat gubuk-gubuk itu ada yang nakal, mereka memotongi akar bakau hingga pohon itu layu. “Akar bakau dipotong karena mempersempit area tambak,” ujarnya.
Murni mengatakan, pada mulanya ada petambak yang ingin mengambil bandeng untuk keperluan sehari-hari. “Saya biarkan mereka mengambilnya. Tetapi, lama-lama mereka juga menguasai lahan dan mengancam bakau-bakau muda hingga banyak yang mati.”
“Ke mana lagi saya harus mengadu? Tidak kuat lagi saya kalau harus membuat surat kepada pejabat hanya untuk meminta bantuan. Sudah berkali-kali seperti ini, apa fungsinya pertemuan di Bali jika masalah kecil seperti ini masih belum bisa diselesaikan?” kata Murni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar