Senin, 26 Juli 2010

MEMBANGUN RUMAH INTELEKTUALITAS GMKI

Tantangan zaman semakin berat dan bahkan hampir menyeluruh di segala aspek kehidupan. Kita akan tenggelam jika tidak mampu beradaptasi secara cepat dan kalah dalam persaingan, di tinggal jauh oleh mereka yang mampu berpkir cepat dan bertindak spontan. Perkembangan informasi, teknologi, pendidikan dan kebudayaan zaman begitu cepatnya bergulir seolah tidak mau kalah oleh perubahan waktu. Oleh beberapa orang hal ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kapabilitas mereka sehingga tetap mampu berdiri tegak di persimpangan waktu, tapi bagi sebagian orang lagi justru hal ini menjadi masalah bagi mereka karena mereka hanya mampu berdiam atau bisu melihat segala perubahan yang ada disekitarnya.

Pertanyaan saya bagi kita para mahasiswa Kristen khususnya kader-kader GMKI, dimanakah posisi kita? Apakah pada posisi yang mampu mengikuti perkembangan zaman atau sebaliknya? Semestinya kita harus berada dalam posisi yang benar yaitu mampu mengikuti perkembangan zaman karena kita adalah orang Kristen dan kader GMKI. So whatt dengan Kristen dan Kader GMKI? (good question). Jika kita sadar dengan identitas kita maka sesungguhnya kita harus mengakui bahwa ternyata Tuhan itu sangat baik kepada kita. DiberikanNya kita akal pikiran dan budi untuk mampu memahami arti hidup kita di dunia. Tapi seberapa seringkah kita sadar akan hal ini? Seringkali kita berjalan sendiri tanpa minta Tuhan hadir dalam setiap langkah kita, merasa seolah mampu menghadapi kehidupan ini sendirian. Filsuf ternama Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendirian sehingga dia harus bersosialisasi. Tapi menurut saya jauh sebelum zoon politicon tersebut lahir, manusia harus menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang tidak dapat hidup tanpa Tuhannya atau penciptanya. Karena fenomena yang sering terjadi adalah manusia cenderung terlalu ber-zoon politicon tapi lupa akan Tuhannya. Hal inilah yang tidak boleh hilang dari diri kita selaku Kristen dan Kader GMKI.







Nah jika kita sudah sadar akan identitas kita sebagai makhluk istimewa, yang dilengkapi akal pikiran apa tindakan selanjutnya? Dalam workshop GMKI di Samarinda Juni lalu, disampaikan bahwa GMKI harus kembali pada wujudnya atau mewujudkan kembali jati dirinya sebagai “Rumah Intelektual”. Rumah adalah tempat bernaung, ruang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan sesama (keluarga) dimana kita merasa nyaman untuk tinggal di dalamnya. Intelektual menurut Wikipedia adalah orang yang menggunakan inteleknya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagak, atau menyoal dan menjawab soalan tentang berbagai-bagai idea. Jadi Rumah Intelektual menurut penulis adalah menjadikan GMKI sebagai tempat bernaung bagi kader-kader yang menggunakan inteleknya untuk belajar, berpikir, berdialektika, bersosialisasi, dan bertransformasi sehingga mampu menelurkan ide-ide brilian untuk menjawab persoalan yang ada. Ini adalah kondisi ideal yang diharapkan penulis terhadap Rumah Intelektualnya GMKI, bukan menjadikan SC (Student Centre) sebagai tempat nongkrong saja, kongko-kongkow, debat kusir yang tidak jelas ujungnya atau persinggahan doang.

Menurut Sharif shaary, seorang intelektual itu adalah seorang pemikir yang sentiasa berfikir dan mengembangkan [serta] menyumbangkan ideanya untuk kesejahteraan masyarakat. Dia juga adalah seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman fikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana dia hadir khususnya dan di peringkat global amnya untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih daripada itu, seorang intelektual juga adalah seorang yang kenal akan kebenaran dan berani pula memperjuangkan kebenaran itu, meski bagaimanapun tekanan dan ancaman yang dihadapinya, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat. Hal inilah yang menjadi gagasan utama yang semestinya dimiliki oleh kader-kader GMKI. Kita yang telah mengecap pendidikan di bangku kuliah sehingga berstatus mahasiswa seharusnya menjadi individu yang berintelektual.

Seorang intelektual itu harus peka terhadap persoalan-persoalan yang ada dan mampu menciptakan solusi bukan malah menciptakan problem. Dia harus hadir dalam lingkungannya sebagai agent of change sehingga mampu memberikan warna. Ketika dalam sebuah komunitas hadir atau terdapat kader GMKI di dalamnya maka setidaknya dia mampu memberikan warna atau pengaruh sehingga eksistensinya diakui. ".. demikianlah hendaknya terangmu bercahaya didepan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang ada di Surga.." (Mat 5 : 16). Kader GMKI harus tegas dan berani mengadakan perlawanan (bukan berarti harus demo) terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, juga harus mampu mengembangkan integritas moral, semangat solidaritas sosial kepada sesama terutama mereka yang berkekurangan, hina, miskin dan tersingkir. Seorang intelektual itu tidak boleh diam atau bisu tapi harus berani keluar dari zona nyamannya dan berbaur dengan sosial masyarakat sehingga mampu menyuarakan kebenaran masyarakat. Itulah Intelectual Social Responsibility yang harus dimiliki oleh kader GMKI, bahwa intelektual yang dimilikinya harus didedikasikan kepada masyarakat/lingkungan dimana dia hadir. Untuk kader GMKI cabang Bandung, merupakan sebuah program yang patut di apresiasi ketika masih aktif mengadakan kunjungan ke Panti Asuhan, mengajari adik-adik yang ada di sana sehingga mereka merasa nyaman dengan hadirnya GMKI. Adanya Lembaga bantuan Advokasi Masyarakat sehingga mampu menolong masyarakat sekitar yang membutuhkan advokasi atau bantuan hukum, mungkin perlu kita gagas lagi. Juga kegiatan mengajar anak-anak jalanan di daerah Dago sangat patut diapresiasi. Kegiatan-kegiatan “kecil” seperti ini setidaknya sudah merupakan wujud konkret Intelektual Social Responsibility kita.

Kegiatan yang patut kita dorong kembali sebagai perwujudan rumah intelektual GMKI adalah menghidupkan kembali kebiasan berdiskusi di SC. Namanya juga Student Centre, sejatinya student centre itu tempat apa sih? Adalah hal yang patut juga untuk diapresiasi ketika ada kader yang mampu menciptakan sebuah forum diskusi (sebut saja Forsa = Forum Sahabat) sebagai tempat berlatih mengeluarkan pendapat, berlatih memahami akan isi sebuah tulisan, berlatih berkomunikasi yang baik, berlatih debat, berlatih menulis, dll. Tak kalah hadirnya BSPH (Balai Studi Pengkajian Hukum) juga akan sangat memberi warna dalam pergerakan kita jika kita mampu mendesainnya dalam bungkusan yang apik. Karena kita para mahasiswa bisa membahas isu-isu aktual seputar hukum misalkan seperti yang baru-baru ini kita bahas, SKPP nya Bibit Chandra, Hak Pilih TNI, dll. Demikian juga FODIUM (Forum Diskusi Umum) harus lebih kita galakkan lagi kiprahnya dalam dinamika cabang sehingga setiap orang mampu mengambil bagian sesuai minatnya. Kader GMKI akan berkembang atau bisa mengambil hikmah dari ber-GMKI itu jika dia ikut ambil bagian dalam kegiatan/program GMKI itu sendiri, jika tidak maka dia akan melihat GMKI itu sebagai organisasi yang kosong yang tidak memberi efek apa pada dirinya sendiri.
So bagaimana dengan rekan-rekan, dang ido tahe?

Bangsaku Pandulah Negaramu !!!

Alangkah indahnya hidup berbagi dengan sesama.

(Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi 2009-2010)



Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor