Dalam KUHP (Wetboek van Straftrecht yang kemudian diundangkan dengan UU No. 1 Tahun 1946) pedoman pemberian pidana diatur dengan jelas. Pasal 1 ayat (1) KUHP menekankan bahwa hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas (principle of legality), dimana mencerminkan kepastian hukum. Dalam asas legalitas ada 4 hal pokok, yaitu: (1) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu, (2) Ketentuan UU harus ditafsirkan secara harafiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, (3) Ketentuan UU tidak berlaku surut, (4) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas dalam UU yang boleh dijatuhkan. Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP jelas bahwa dasar dan sumber pemberian pidana hanyalah hukum tertulis (peraturan perundang-undangan tertulis).
Akan tetapi, latar belakang bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama/kepercayaan melahirkan juga berbagai macam hukum adat dan hukum agama. Hukum-hukum yang pada umumnya bersifat tidak tertulis ini (unwritten law) ini juga mengatur tentang pemberian pidana terhadap tindak pidana yang kebanyakan tidak dikenal dalam KUHP. Untuk mengakomodir mengenai delik adat (adat delicten) ini yang pada umumnya bersifat tidak tertulis, maka dikeluarkan UU Drt. No. 1 Tahun 1951 dimana dalam Pasal 5 ayat (3) sub b ditentukan bahwa “suatu pidana yang menurut hukum yang hidup harus dianggap tindak pidana, tetapi tiada bandingannya dalam KUHP, maka dianggap diancam dengan pidana yang tidak lebih dari tiga bulan penjara atau denda lima ratus rupiah”. Mengenai diakuinya tindak pidana yang tidak diatur secara tertulis juga dipertegas dalam UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 28 yang merupakan landasan bagi hakim untuk memakai nilai-nilai dan rasa keadilan yang ada di masyarakat.
Dari uraian diatas, nampak jelas ketidakkonsistenan mengenai dasar dan sumber pemberian pidana di Indonesia, dimana satu sisi bersumber dari hukum tertulis (KUHP), dan di sisi lain boleh bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Mengenai aliran yang dianut di dalam KUHP tentang pemberian pidana (dalam Pasal 104-488 KUHP) dapat dikatakan masih menganut aliran klasik dimana terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis (kodifikasi) dan menitikberatkan kepada kepastian hukum dengan pandangan yang indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia. Selain itu juga menitik beratkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Perumusan UU dan perbuatan yang melawan hukum merupakan titik sentral yang menjadi perhatian dari hukum pidana.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum positif Indonesia tidak memberikan pedoman secara pasti mengenai pemberian hukum pidana.
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar