Oleh Suhunan Situmorang
SALAH satu hasil otonomi daerah yang dianggap fundamental ialah pilkada langsung. Tapi, tak butuh waktu lama untuk melihat bolong-bolong kelemahannya. Ongkos yang kelewat besar, membuka peluang korupsi, dan ternyata daerah tak tambah maju sebab selain mewabahnya praktik korupsi, kapabilitas kepala daerah dan anggota DPRD banyak yang mengecewakan.
Pilkada, pilcaleg, telah pula membangkitkan naluri-naluri primitif. Kekerasan, pemaksaan, intimidasi, fitnah, pengelabuan suara, pemalsuan ijazah, mengemuka. Harga aspirasi dan ideologi politik pun tak berharga, cukup 100-200 ribu rupiah saja, yang dibagikan menjelang pemungutan suara. Fenomena tersebut membentuk mental masyarakat yang tak punya pendirian, melecehkan arti penting kesetiaan dan harga diri. Suara seseorang begitu murah dibeli, dan parahnya ada pembenaran bagi sikap silimutni aek; kanan kiri oke, dari sana-sini dapat.
Dampak negatif lain pilkada (dan pilcaleg) lebih buruk lagi bagi masyarakat adat Batak, khususnya yang bermukim di Tano Batak. Sistem yang disebut-sebut demokratis itu telah mempercepat rusaknya tatanan sosial yang dibangun berdasarkan norma-norma adat, sebab untuk menggolkan kandidat dukungan, ditempuh segala cara. Pilkada di Tapanuli Utara, Tobasa, Humbang Hasundutan, Samosir, juga Tapanuli Tengah, ditengarai telah merontokkan harmoni dan nilai luhur tatanan adat.
Sentimen marga menjadi modal utama untuk mendulang suara. Alasan semarga, masih ada pertalian kerabat, yang dipertaruhkan dalam pilkada dan pilcaleg, telah membuat hubungan pertetanggaan, perkawanan, perkerabatan, dan sesama anggota komunitas agama, jadi rusak. Tak sedikit yang melanjutkan permusuhan kendati pemilihan telah usai, padahal belum tentu dapat apa-apa dari yang didukung. Ironis atau bodohnya, anggota suatu komunitas marga (dongan tubu, termasuk boru dan bere) akan menutup mata—kalau tak membela—bupati, walikota, anggota DPRD, yang sudah jelas bermasalah atau berkinerja buruk. Pepatah tak bermutu: suharpe bulu ingkon do tarihon (kendati seseorang menyimpang, salah, tetapi karena masih saudara/kerabat, harus dibela) sering dijadikan alasan untuk membela kerabat yang salah.
Dukungan yang membabi-buta pada dongan tubu telah pula mempersempit kesempatan lahirnya pemimpin dan wakil rakyat yang bermutu. Bisa jadi calon dari marga X yang lebih patut didukung, namun karena beda marga (termasuk marga istri) tak diberi kesempatan. Mungkin kandidat dari marga sendiri tak layak, namun karena dongan tubu, didukung. Kesetiaan dan kebanggaan pada marga tak pelak telah mematikan nurani, kebajikan, dan kepentingan masyarakat jangka panjang. Kinerja bupati, walikota, atau anggota DPRD yang buruk ditutup-tutupi dan menganggap koreksi, kritik, sebagai bentuk permusuhan pada marga.
Komunitas dan tokoh marga, disadari atau tidak, telah membiarkan—kalau tak mendukung—terjadinya praktik-praktik manipulatif dan koruptif, bahkan tindakan yang mengarah ke tirani. Tentu saja sikap demikian berbahaya. Melindungi seseorang—apalagi berkedudukan sebagai pemimpin daerah, wakil rakyat, pejabat pemerintah—yang tak bermutu, penindas, bahkan kriminal, dari segi apapun, bukan sikap yang bijaksana dan malah mempermalukan marga. Mestinya, sebaliknyalah yang ditekankan: dongan sabutuha atau kerabat yang jadi pemimpin, pejabat, anggota DPR/DPRD, dituntut tanggungjawab ganda: kepada negara (rakyat) dan marga. Tuntutan tersebut akan memaksa sikap hati-hati dan tanggungjawab yang ujung-ujungnya mengokohkan integritas dalam diri pihak yang dituntut, yang imbasnya akan mengharumkan marga.
Anggota (apalagi tokoh) komunitas marga seharusnya pula menjadi pengawas aktif bagi pejabat publik sampai selesai masa jabatan. Tanggungjawab moral tersebut bisa efektif mengendalikan perilaku manipulatif, koruptif, dan sikap arogan seorang pejabat. Dia harus dipinsang (ditegur) bila melakukan kesalahan, apalagi bila mengundang cemooh publik atau karena melukai perasaan orang banyak.
Dalam konteks pemimpin dan wakil rakyat di wilayah Tano Batak atau yang banyak dihuni orang Batak, saya malah cenderung mendorong: tak menyorong-nyorong seseorang bila semata-mata karena alasan marga (dongan sabutuha). Karakteristik masyarakat adat Batak itu terbilang spesifik, rumit, dan sensitif. Sebagaimana diketahui, struktur sosial dan
hubungan perkerabatan masyarakat terbentuk dari relasi antarmarga, karena perkawinan, yang kemudian membentuk lembaga Dalihan Natolu yang terdiri dari hula-hula, dongan tubu, boru. Lembaga tersebut ditambah pula peranan bona tulang, bonani ari, tulang rorobot, dongan sahuta, dan rajani huta (dahulu disebut horja dan bius).
Masing-masing unsur punya derajat dan hak-kewajiban tersendiri, terutama cara perlakuan, yang intinya menyangkut penghormatan. Bagus tidaknya cara menjalin hubungan dan merawat ikatan perkerabatan, adalah pula menjadi parameter penting untuk menilai bermutu tidaknya pribadi seseorang. Pilkada, pilcaleg, berpotensi menyingkirkan kaedah-kaedah dan nilai-nilai yang melekat dalam hubungan adat, sebab untuk mencapai tujuan politik (kekuasaan), apalagi pada masyarakat yang belum dewasa berpolitik, tindakan apa saja bisa dilakukan—termasuk yang paling kotor. Respek pada hula-hula, tulang, dan tuntutan agar mengayomi boru, akan diabaikan demi tercapainya tujuan, dan besar kemungkinan akan berbenturan dengan kandidat pesaing yang masuk unsur Dalihan Natolu.
Dukungan marga yang tak lagi proporsional pada beberapa bupati di wilayah yang dominan orang Batak, selain menimbulkan friksi dan antipati dengan marga lain, malah jadi sering kontraproduktif bagi pembangunan daerah. Bupati bisa sewenang-wenang menjalankan kekuasaannya karena tahu, bila ada yang coba menggoyang kursinya, komunitas marga dan tokoh-tokoh (termasuk dari Jakarta), akan ramai-ramai ‘turun gunung’ untuk melindungi. Ini sikap yang berbahaya bagi pembangunan Tano Batak dan sekitarnya, dan terutama: merontokkan keunikan dan keluhuran hubungan adat. Mari kita pertimbangkan.***
# Dimuat di koran Batakpos, Sabtu, 2 July 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar