KERETA API
Untuk pertama kalinya aku naik kereta adalah saat aku pergi bersama abangku menuju MONAS dari Stasiun Depok Baru. Setelah kami beli karcis dengan harga Rp 1.500,-/orang (cukup murah) dan menunggu beberapa saat kereta tujuan Kota pun datang. Aku naik mengikuti langkah abangku dan yaap aku pun naik kereta. Waahh… aku terkejut melihat suasana di kereta. Ramainya minta ampun, penuh sesak dan saling berdesakan. Sebagai perbandingan untuk normalnya daya tampung satu gerbong telah melampaui 3 kali lipatnya, sehingga posisi kita hanya bisa berdiri saja tanpa bisa bergerak kanan-kiri lagi. Kereta pun melaju dengan kencangnya, dan untuk kereta kelas ekonomi ternyata selalu berhenti di setiap stasiun
Saat itu stasiun yang masih familiar aku ingat adalah, Pocin, UI, UP, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Manggarai, dan Gambir. Sepanjang perjalanan di kereta aku pun terkejut melihat fenomena kehidupan yang ada. Ada teriakan, yang haus..yang haus.. mizone…mizone..dingin..dingin..koran..koran..tempo..tempo..Cuma seribu.. beberapa penumpang pun membeli dan saling mengadakan transaksi. Kemudian ada gerombolan pengamen dengan peralatan music lengkap sederhana dan corak pakaian yang nyentrik menyanyikan lagu-lagu sambil berharap mereka mendapat receh. Berlalunya pengamen disusul lagi oleh tukang jual buah dengan kereta dorongnya, diikuti oleh seorang ibu tua berpakaian kumal lusuh yang membuat batinku menjerit kesedihan. Dunia macam apakah yang aku hadapi ini? Aku bertanya dalam hati. Beginikah Jakarta Ibukota Republik yang selama ini belum bisa aku baca? Apakah ini sandiwara atau drama? Belum selesai aku bertanya-tanya, tiba-tiba aku melihat seorang anak kecil kira-kira berumur 7 tahun dengan muka yang sangat menyedihkan dan seolah-olah tidak punya harapan hidup lagi mengemis kepada orang-orang sekitar, membuat aku makin bingung. Dan ternyata kebingungan itu semakin besar tatkala mataku melihat seorang lelaki paruh baya (maap dengan kaki buntung) ngesot mengais-ais sampah sambil meminta sedekah. Setelah turun dari kereta, abangku pun menjelaskan bahwa aku gak usah terkejut melihat fenomena tersebut karena ternyata demikianlah realita social yang ada di Jakarta. Sebenarnya masih banyak lagi kejadian-kejadian aneh yang aku saksikan saat naik kereta tersebut, tapi cukup kejadian itu saja dulu yang aku ceritakan.
BIMBEL
Setelah aku menyelesaikan study di SMA Soposurung Balige, segera aku terbang menuju Jakarta dengan tujuan Bimbingan Belajar (Bimbel) di Ganesha Operation (GO) Depok. Sebagai pendatang baru dari kampong dengan gaya khas celana bahan item, kemeja kotak-kotak dan pake ikat pinggang menjadi keseharianku ke tempat bimbel. Agak malu juga berpakaian seperti ini, abisnya sudah tidak zaman. Tapi aku cuek aja sama penampilan, toh aku berpikir tujuan ke Jakarta adalah untuk LULUS SPMB bukan untuk mengikuti Mode. Hal yang berkesan adalah sehabis dari tempat bimbel aku dan beberapa teman selalu naik Bikun (Bis Kuning UI/ transportasi di lingkungan UI dan gratis tis..tis..) menuju kost-kostan. Saking udah mentoknya cinta ini sama UI maka aku selalu memanfaatkan kegratisan itu dengan naik Bikun keliling UI (ha..ha../lumayan). Hampir tiap hari naik Bikun sehingga aku bisa hapal dimana letak tiap Fakultasnya, dimana FMIPA, FKM, FH, Psikologi, dll. Satu lagi pengalaman menarik adalah untuk menuju rumah aku harus naik angkot lagi, tetapi untuk menuju tempat angkot ini aku harus naik ojek lagi karena tidak ada angkot ke arah Kampus UI dari daerah Kukusan. Sebagai anak kost-kostan maka aku harus menggunakan prinsip penghematan dan untuk mewujudkannya aku tidak mau naik ojek lagi sehingga aku jalan kaki saja walau jaraknya lumyan juga, kira-kira 2 km. Tapi semua itu bisa dilalui dengan S.E.M.A.N.G.A.T…..hayu semangat……ha.ha….
NAIK BUS
Pengalamanku ketika naik bus ini agak lucu juga. Saat itu aku dan beberapa teman bimbel mau ke Univ. Negeri Jakarta untuk membeli formulir SPMB. Diperjalanan menuju Jakarta kejadian yang aku alami hampir sama juga dengan kejadian ketika pertama kali naik kereta, walau tidak se-ekstrim di kereta. Ada pengamen, penjual Koran dan minuman saat di Lampu Merah. Kejadian lucunya adalah, ada seorang perempuan kira-kira usia 15-an menawarkan permen rasa jahe. Perempuan ini basa-basi dulu menawarkan dagangannya, dan saat itu dia bersuara dari depan sedangkan aku duduknya agak di belakang jadi tidak kedengaran apa yang dibilangnya. Mulai dari bangku paling depan dia member satu bungkus permennya hingga tiba ke giliranku. Saat aku memegang permen tersebut, aku pikir itu gratis tis..tis.. seperti Bikun UI (ha..ha..dasar suka gratisan yeee). Lumayan juga pelayanan Bus ini pikirku, karena selain itu Busnya juga ber-AC. Aku buka saja bungkus permennya dan nyap langsung masuk ke mulut. Selang beberapa menit kemudian perempuan tadi meminta kembali permen-permen yang ditawarkan ke para penumpang. Aku baru sadar… waduh, permennya udah aku makan sebagian. Gawat neh pikirku. Perempuan tadi pun tiba di depanku dan bilang terimakasih karena sudah mau membeli permennya. Cuma seribu koq mas katanya, oiya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar