Kamis, 17 Juni 2010

MARANDUS SIRAIT

Saat tiba di Laguboti, Balige, tersiarlah kabar ada seorang penerima Kalpataru di sekitar daerah itu. Ini tentulah kabar yang sangat menggairahkan. Terusik keinginan untuk selekasnya mencari tahu sekaligus menemuinya. Tak sabar lagi untuk bersua dengannya. Kata banyak orang, penerima Kalpatrau ini juga membudidayakan tanaman yang sudah langka di bumi Batak.


Si penerima pohon kehidupan itu, namanya juga sudah sangat dikenal warga di sekitar Balige dan Porsea. Kalau ada orang yang masih asing dengan namanya, cukuplah menanyakan kepada kerumunan orang yang berada di terminal atau lapo, dan tanyakan di mana lokasi Taman Eden 100. Yang ditanya akan menunjukkan arah Lumbanjulu. Ya, di situlah ”markas besar” dari Marandus Sirait. Dusunnya bernama Lumban Rang, Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumbanjulu, Tobasa, sekitar 16 kilometer dari Parapat atau 40 km dari Balige.
Taman Eden 100 dan Marandus Sirait bagai pinang dibelah dua, karena dialah yang mengelola taman dengan konsep agrowisata itu. Lahannya seluas 40 hektar yang hanya diperuntukkan untuk konservasi lingkungan Danau Toba. Marandus Sirait dengan mudah ditemui di Taman Eden 100. Atau sebaliknya, kalau ke Taman Eden 100 pasti akan menjumpai Marandus Sirait. Sirait dan Eden jadi kata kunci.


Taman Eden 100, adalah karya nyata dan bukti perjuangannya bagi lingkungan. Dia melakukannya tanpabanyak basa-basi, seperti kebanyakan orang lain, yang hanya menanam pohon untuk pencitraan, semata-mata untuk mendongkel semakin naiknya popularitas. Marandus bukan seperti orang-orang kebanyakan. Sebuah apresiasi yang setinggi-tingginya layak diberikan kepadanya. Hingga Kalpataru datang menghampirinya. Dan penghargaan itu pun dinilai sangat wajar baginya. Dia adalah penerima Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan tahun 2005, yang langsung diberikan oleh petinggi republik ini, Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Cipanas, Bogor. Saat menerima penghargaan tertinggi untuk upaya pelestarian lingkungan itu dia masih berusia cukup muda, 38 tahun, masih lajang. Dia barangkali termasuk kategori penerima Kalpataru yang termuda sampai sampai saat ini.



Pendeta Muhammad
Mengunjungi Taman Eden, buah karya Marandus Sirait, sangatlah mudah, karena pintu gerbangnya langsung berada pada sisi jalan di sebelah kiri, kalau tamu berangkat dari Parapat. Namun, karena pintu gerbang berada pas di tingkungan, maka sering tak terlihat. Mobil sering kelewatan dan alhasil terdampar di Polsek setempat, yang memang jaraknya tak jauh dari taman itu. Setelah tiba di pintu gerbang Taman Eden 100, ayunkanlah kaki melangkah masuk ke dalam, menempuh jalan yang sedikit menanjak. Jalan masuk adalah jalan berbatu, yang kalau kita tapaki maka batu-batu kecil pasti ikut tercampakkan ke sana-ke sini. Menarik, menyusuri jalan itu. Kita bisa melihat tanaman-tanaman yang sudah ditanam, juga melihat setiap tanaman itu yang sudah ada nama pemiliknya, nama si penanam dan tanggal saat tanaman itu dihunjamkan ke dalam tanah.


Seorang Pendeta bernama Muhammad pun pernah menanam pohon di situ, dan namanya langsung terlihat saat menyusuri jalan yang berbatu itu. Sampai di penghujung jalan, terdapat sebuah pos komando utama, sebuah rumah kayu yang terlihat sebagai tempat informasi sekaligus rumah tinggal. Dinding-dinding rumah itu, yang bertempelkan banyak guntingan-guntingan koran pun bercerita mengenai seorang sosok yang akan ditemui. Memang, sudah banyak media yang mengupas sosok yang satu ini.
Usai memanggil si empunya rumah, keluarlah seorang kakak, dan dia berkata, ”Abang sedang ke dalam, sedang mengantar pengunjung ke rumah Tarzan, silahkan menunggu sebentar.”

Pasti sudah terbayang rumah yang dimaksud tentulah sebuah rumah pohon. Karena, kabarnya Tarzan tinggal di pohon bukan di gua. Rumah Tarzan, air terjun dua tingkat, air terjun tujuh tingkat, gua kelelawar, bukit Manja, hingga hutan yang masih dihuni sepasang harimau, adalah daya tarik dari wisata di Taman Eden 100 ini. Kalau ingin menuju ke beberapa lokasi disediakan beberapa orang sebagai pemandu. Bila mau ke Bukit Manja maka akan menempuh jarak sekitar 5 kilometer atau sekitar 2,5 jam dari posko dengan berjalan kaki, menembus hutan, dengan jalanan yang menanjak. Tak berapa lama kemudian, seorang yang memakai kaus berwarna merah, bercelana pendek coklat dan bertopi rimba datang menghampiri. Dia mengiyakan sebagai orang yang tengah dicari.


Banyak yang mengagumi keberadaan Taman Eden 100, namun Marandus mengatakan, ”Sebenarnya, bagi saya ini belum selesai, semua masih berjalan, memang sudah terdapat 100 tanaman berbuah di sini. Namun, kami masih harus menambah beberapa fasilitas lain, seperti gua-gua penginapan, kolam pancing, tempat main untuk anak-anak. Juga kami mau coba mendatangkan kuda. Jadi bagi saya ini baru berjalan sekitar 50%.” Sebuah jawaban yang menarik, bahwa kerja kerasnya yang sudah membuahkan hasil ternyata masih belum berakhir. Dari brosur mengenai Taman Eden 100 ini, memang tertulis bila taman yang telah diupayakan sejak tahun 1999 itu ditargetkan semua akan tercapai pada tahun 2020.
Saat ini, di taman Eden 100 juga telah dibudidayakan tanaman-tanaman langka di bumi Batak, bahkan yang sudah jarang dijumpai lagi, seperti jabi-jabi, hariara, sampinur bunga, tahul-tahul dan tentu saja andaliman, yang sering diplesetkan menjadi ”keandalan iman.”
Di dalam taman terdapat area khusus untuk konservasi Anggrek Toba atau Orchid Park. Anggrek Toba di Taman Eden 100 ini merupakan satu-satunya taman konservasi anggrek hutan milik Sumatera Utara. Selain itu, sejak 29 September 2007 dan seterusnya, Marandus Sirait tengah mengupayakan Bank Pohon, yang dimaksudkan agar dapat menyuplai bibit-bibit ke kawasan Danau Toba yang lain, dengan niat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.

Dengan beragamnya tanaman di situ, maka wisata dengan konsep agrowisata lebih tepat diberikan ke Taman Eden 100 ini, meskipun taman ini juga kerap dijadikan sebagai wisata rohani. Sepertinya dia enggan untuk menambahkan fasilitas rumah ibadah seperti layaknya sebuah wisata iman di daerah Sidikalang yang memiliki empat rumah ibadah. Marandus hanya akan menambahkan gua-gua doa, yang akan diupayakannya sealami mungkin. Dan kemungkinan nantinya bisa digunakan oleh semua umat pemeluk beragama.
”Dikasi nama seratus itu memang agar ada seratus tanaman berbuah di sini, dan saya hitung-hitung ternyata sudah lebih. Sedangkan Taman Eden-nya ini diambil dari kitab Kejadian 2 ayat 15, yang bunyinya usahakan dan lestarikan bumi. Dulu kan di Taman Eden itu semua makhluk bisa hidup berdampingan, baik manusia, hewan, juga tanaman-tanaman. Semuanya hidup rukun,” katanya menguraikan. Dia pun mencoba menerangkan kembali makna dari taman yang dikelolanya ini. Sebuah harapan agar semua bisa rukun kembali di Taman Eden 100 ini. Tak berlebihan. Karena, meskipun namanya Taman Eden 100 yang cenderung Alkitabiah, namun ternyata yang pernah datang ke situ tidak hanya kaum kristiani, pendeta budhis pun pernah meditasi di taman ini.
Guru Musik

Marandus Sirait pada awalnya adalah seorang guru musik tamatan dari sekolah musik yang cukup terkenal di kota Medan, yaitu Medan Musik. Sebenarnya, dia sangat mencintai profesinya dan sudah ”cukup makan” dengan bidang yang digelutinya itu. Sejak tahun 1991, Marandus sudah menjadi guru musik di beberapa sekolah dan di gereja-gereja sekitar daerah Tobasa, malah sampai ke Pematang Siantar. Tak cuma itu, dia pun rela untuk mengasuh dan mengajarkan musik kepada para tuna netra di Panti Asuhan Hepata di daerah Laguboti.
Saat sembari mengajarkan musik itulah dia sering ”berkhotbah” tentang perlunya menjaga lingkungan hidup, karena itu adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, yang harus dijaga untuk generasi berikutnya. Khotbah itu yang selalu didengung-dengungkannya setiap kali mengajar, di setiap tempat, di setiap waktu. Dia pun gelisah karena ”khotbahnya” terasa seperti menjadi ”kering.” Karena itu, dia menginginkan khotbahnya itu menjadi ”daging,” menjadi sebuah karya yang nyata, dalam perbuatan dan sikap. Lantas anak ketiga dari sepuluh bersaudara ini pun mengusulkan kepada ayahnya, Leas Sirait, untuk memulai langkahnya mengupayakan 40 hektar areal keluarganya itu sebagai areal konservasi dengan konsep agrowisata. Gayung pun bersambut dari keluarga besar Sirait yang budiman ini. Lahan keluarga seluas 40 hektar ini berbatasan langsung dengan ribuan hektar hutan lindung milik pemerintah.

Dibuatlah konsep program Taman Eden 100 sejak tahun 1998. Tahun 1999 sudah mulai berjalan. Sejak Mei 2000 sudah disosialisasikan ke khalayak ramai dan ditargetkan akan selesai tahun 2020, dengan penambahan beberapa fasilitas yang memungkinkan. Mengupayakan dan mempertahankan areal konservasi seluas 40 hektar, yang merupakan lahan keluarga ini, hingga masih tetap bertahan bukan hal yang mudah. Tak lebih dan tak kurang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Tiadanya bantuan pemerintah daerah setempat tidak membuat Marandus gentar sedikit pun. Semua hal telah dilakukannya. Katanya: ”Tak masalah kalo aku tak punya uang di kantong, asal taman ini tetap ada.”

Saat awal pembuatan taman ini, sekitar tahun 1998, dia pun menjual semua alat-alat band-nya untuk memulai langkah awal niatnya yang tulus. Semua penghasilannya dari seorang guru musik dan hasil penjualan dari alat-alat band-nya menjadi modal awal untuk membangun taman ini. Pastilah sangat berat bagi seorang guru musik saat memutuskan akan menjual semua alat-alat musik yang digemarinya. Kenangannya saat bersama alat-alat musik itu tentu menyesakkan dada. Namun, niat sudah dipancangkannya, langkah sudah diayunkannya.
Semuanya inisiatif sendiri, walau Marandus juga mengiyakan pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, ”Dulu ada bantuan pemerintah. Tapi, dulu, dari dinas pariwisata, tapi ya, minimlah. Bagaimanapun sudah kita syukuri kan, masih ada yang bantu.”
Berjuang dan bersyukur terlihat jelas di wajah putra Batak yang satu ini. Nampak jelas dari sinar matanya, guratan wajahnya, dan pada setiap patah kata dari ucapan Bataknya yang sangat kental. Jenggotnya yang tidak terlampau lebat menyiratkan seorang pejuang lingkungan sejati. Sedikit pun tak kelihatan dia merasa lelah, meskipun baru saja keluar dari dalam hutan mengantar dan memandu tamu yang keluar masuk hutan, melihat rumah Tarzan dan air terjun dua tingkat.

Saat ini dia mengucapkan syukur kepada sang khalik, karena sekarang tempat ini sudah sering dikunjungi oleh beberapa wisatawan lokal dan mancanegara. Marandus dan Taman Eden juga bersyukur, saat ada pembuatan tali air dari program Dinas Pengairan pemerintah yang mengalirkan air terjun yang melewati tamannya dan mengalir ke sawah-sawah penduduk di daerah sekitar Lumbanjulu. Tali air yang menjulur ke bawah melewati Taman Eden ini ibarat sebuah durian runtuh bagi para petani setempat.

Rasa syukurnya itu juga ditunjukkan kepada para pengunjung yang datang ke Taman Eden 100. Taman ini tidak mengenakan pungutan terhadap pengunjung. Hanya diletakkan sebuah kotak besar terbuat dari kaca yang transparan, yang disediakan bagi para pengunjung yang ingin memberikan sumbangan untuk perawatan Taman. Karena kotaknya transparan maka uang pun terlihat. Tak banyak, paling hanya beberapa lembar uang kertas lima ribu perak, bahkan seribu perak. Pengunjung tidak dikenakan pungutan namun bila ingin menanam sebuah pohon maka akan dikenakan ”kutipan” sebesar Rp 20.000 untuk perawatannya. Biasanya pengunjung yang menanam pohon namanya akan tercantum di pohon. Rombongan keluarga maupun pelajar tidak kena pungutan atau restibusi apa pun.
Hutan mekar kembali di pegunungan yang pernah kering. Danau Toba menghijau kembali, burung-burung datang dan berkicau kembali. Itulah bukti nyata sumbangsih seorang putra Batak bernama Marandus Sirait, si penerima Kalpataru, yang mungkin juga penerima Kalpataru termuda dan orang kelima dari Sumatera Utara yang pernah menerima pohon kehidupan itu sejak tahun 1980. Dari guru musik Marandus menjelma menjadi penyelamat lingkungan hidup. Layaklah bagi siapa saja untuk belajar dari ajaran dan tindakan guru yang satu ini.

Sejak tahun 2008, sang ”Adam” sudah tidak sendirian lagi di Taman Eden 100 ciptaannya ini, karena Tuhan telah mendatangkan seorang ”Hawa,” seorang permaisuri di ”kerajaan” lingkungan itu, namanya Yohana boru Sitepu. Sehingga dia sudah tak gelisah karena sendirian di ”istananya” yang hijau, di Taman Eden 100 itu. *** Chris Poerba, sudah diterbitkan di majalahTAPIAN


Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor