Minggu, 23 Mei 2010

HUKUM PROGRESIF

Berikut sebuah artikel yang saya ambil dari sebuah situs internet tentang Hukum Progresif:

Pada 20 Juli 2009, di Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang berlangsung sebuah hajatan penting, “Seminar Nasional Prospek Hukum Progresif di Indonesia”. Bersamaan dengan itu, dilakukan peluncuran buku tentang hukum progresif, Evolusi Pemikiran Hukum Baru (Genta Publishing, 2009).
Ada empat pembicara yang hadir, yakni Prof Dr B Arief Sidharta (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Parahyangan), Prof Dr Fx Adjie Samekto (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro), Dr. Suteki SH MHum (Dosen Pascasarjana Universitas Diponegoro), dan Rudolfus Tallan (Pengacara yang juga mahasiswa Pascasarjana Universitas Diponegoro). Posisi saya (Penulis) dalam seminar tersebut sebagai moderator.
Sejarah Hukum Progresif
Hukum progresif lahir karena keadaan Indonesia pada masa lalu. Ada berbagai pergulatan pemikiran, berkaitan dengan usaha dari pemikir hukum untuk menawarkan gagasannya agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui ‘jalan buntu’.

Salah satu gagasan pemikiran yang penting dalam lingkup ini adalah hukum progresif tersebut. Pemikir penting yang berada di belakang gagasan tersebut, adalah Profesor Satjipto Rahardjo, guru besar Emiritus Sosiologi Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang. Di kalangan kolega dan mahasiswanya, ia dikenal dan dipanggil dengan Prof. Tjip.

Keadaan hukum Indonesia yang karut-marut, seperti menjadi cambuk bagi lahirnya gagasan hukum progresif tersebut. Proses ini tidak berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan gagasan dan pemikiran ini sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan demikian menggumpal hingga mencapai puncak gagasan hukum progresif ini pada tahun 2002. Namun demikian, bila kita melihat dari perkembangan berbagai tulisan dari pemikiran progresif Prof. Tjip, sepertinya telah dimulai jauh sebelum tahun 2002. Hal ini terlihat dari artikel yang ditulisnya secara rutin.




Bila merunut perjalanan kepenulisan Prof. Tjip di Harian Kompas, khususnya melalui penghargaan yang diterima sebagai cendikiawan yang tak berhenti menulis, pada tahun 2008, Prof. Tjip sudah menulis selama 33 tahun. Prof. Tjip menerima penghargaan Kompas sebagai cendikiawan berdedikasi, bersama Prof. Soetandyo Wignjosoebroto (berumur 76 tahun, Guru Besar Universitas Airlangga, pernah menjadi anggota Komnas HAM), Thee Kian Wie (berumur 73 tahun, Stah Ahli LIPI), Prof. Dr. Ir. Sajogyo (berumur 83 tahun, Guru Besar Institut Pertanian Bogor), MT. Zein (berumur 77 tahun, Guru Besar Institut Teknologi Bandung). Seperti yang sudah diungkap di atas, bahwa Prof. Tjip sudah menulis 33 tahun, artikel pertamanya berjudul ”Menyongsong Simposium Hukum dalam Masa Transisi” (edisi 11 Januari 1975). Pada tahun 1975, Prof. Tjip menulis sebanyak 34 tulisan. Hingga tahun 2008, Prof. Tjip sudah menulis sebanyak 367 artikel. Artikel terakhirnya sebelum menerima penghargaan berjudul ”Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” (edisi 23 Juni 2008). Beberapa buku Prof. Tjip sudah diterbitkan Penerbit Kompas (Harian Kompas, 27 Juni 2008). Dari sekian puluh tahun tersebut, khusus mengenai gagasan progresif, bisa dikatakan sudah mulai ditulis Prof. Tjip jauh sebelum 2002. Tahun 2002 –sebenarnya bentuk kerendahan hati Prof. Tjip—disebut-sebut sebagai awal pemikiran hukum progresif.

Pikiran progresif sarat dengan keinginan dan harapan. Ada satu hal yang penting, bahwa lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, berkaitan dengan upaya mengkritisi realitas pemahaman hukum yang sangat positivistik.

Perkembangan Hukum Progresif
Bila merujuk ke belakang, maka dapat diketahui bahwa gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Prof. Tjip, sebagai pencetus dan yang mengembangkan gagasan ini, melihat lebarnya kesenjangan antara kenyataan dan realitas. Ada harapan besar untuk hukum sebagai juru penolong ketika kekuasaan Presiden Soeharto runtuh –sampai-sampai dianggap supremasi hukum sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Sedangkan prestasi tidak memuaskan (Satjipto Rahardjo, April 2007).

Menurut Satjipto Rahardjo (2002), tipe penegakan hukum progresif dibutuhkan karena pengamatan menunjukkan selama ini menunjukkan, meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras, hasilnya tetap amat mengecewakan. Dimensi pentingnya adalah: (1) dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif; (2) kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia (Khudzaifah Dimyati 2005).

Hukum progresif lahir untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya (Satjipto Rahardjo, April 2005). “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Prof. Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya (Satjipto Rahardjo 2007, Satjipto Rahardjo 2006, Satjipto Rahardjo 2008).

Penegasan ini berbeda dengan Pemahaman hukum secara legalistik-positivistik dan berbasis peraturan (rule bound). Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, deterministik, terutama untuk kepentingan profesi (Satjipto Rahardjo, 15 Desember 2000). Menurut Prof. Tjip, hingga saat ini, cara berpikir hukum masih dikuasai warisan berpikir abad ke-19 yang positivistis-dogmatis (Satjipto Rahardjo, 2007).

Mengenai dogmatika hukum, dicakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkret, sifat dogmatikalnya itu terletak dalam hal bahwa orang sungguh-sungguh membatasi diri pada suatu sistem hukum spesifik –kaidah-kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum yang lain (Bernard Arief Sidharta 2008).

Di samping itu, dalam konteks positivisme hukum, oleh Hart (Dias, 1976) diartikan antara lain: (1) Hukum adalah perintah; (2) keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; (3) penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian; (4) hukum yang diundangkan/ditetapkan/ positum harus dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan/diinginkan.

Berbeda dengan hukum progresif, yang menghendaki kehadiran hukum untuk sesuatu yang lebih luas. Makanya ketika ada persoalan di dalam hukum, yang harus diperbaiki adalah hukumnya, bukan manusia yang justru dipaksa untuk menyesuaikan diri. Di sini, yang berlaku adalah ‘hukum yang selalu dalam proses menjadi’ (law as a process, in the law making). Dengan kata lain, hukum bukanlah sesuatu yang sudah final dan selesai. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi tersebut (Satjipto Rahardjo 2007).

Kita bisa melihat apa yang dituliskan Prof. Tjip: ”… moral hukum progresif, kandungannya, adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya”. Di samping itu, disebutkan pula: ”… moral hukum progresif ingin mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju keadaan yang lebih baik”.

Tinjauan Cara Berhukum Masa Lalu
Mengenai bagaimana hukum progresif diarahkan, Prof. Tjip menyebutkan bahwa: ”… hukum progresif mengajak bangsa ini untuk meninjau kembali (review) cara-cara berhukum di masa lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsur, antara lain, misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum, perundang-undangan, penggunaan teori-teori tertentu, sampai kepada hal-hal yang bersifat keperilakukan dan psikologis, seperti tekad dan kepedulian (commitment), keberanian (dare), determinasi, empati, serta rasa-perasaan (compassion)”.

Bentuk ini, menurut Prof. Tjip, adalah ”… cara berhukum progresif dimasukkan ke dalam tipe ’berhukum dengan nurani’ (conscience). Penilaian keberhasilan hukum dilihat dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas. Cara berhukum itu tidak hanya menggunakan rasio (logika), melainkan juga sarat dengan kenuranian atau compassion”.

Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana sebenarnya profil hukum progresif yang digagaskan Prof. Tjip, mulai dari kandungan, moralitasnya, serta tawaran cara-cara berhukum. Nurani mendapat tempat yang penting, dan ini sebenarnya dihindari oleh kalangan positivistik di mana hukum harus dibebaskan dari segala sesuatu yang bersifat meta-juridical (sebagaimana diteorisasikan oleh Hans Kelsen).

Sedangkan hukum progresif memiliki bentuk yang berbeda dengan positivistik. Untuk lebih jelasnya, hukum progresif ini dapat dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter.

NO. IDENTIFIKASI HUKUM PROGRESIF
1. Asumsi 1. Hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
2. Tujuan Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
3. Spirit 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berfikir, asas, dan teori yang selama ini dipakai.
2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan.
4. Progresivitas 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making).
2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global.
3. Menolak status-quo manakala menimbulkan dekandensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.
5. Karakter 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku.
2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet & Selznick, bertipe responsif.
3. Hukum progresif terbagi paham dengan legal realism, karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang meta-juridical.
6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies namun cakupannya lebih luas.
Sumber: Rahardjo (2005; 2006; 2007a; 2007b), Yudi Kristiana (2007), Suteki (2008), Salman & Susanto (2008).

Hukum progresif dalam lingkup seperti itulah, setelah bertahun-tahun bergulat dengan berbagai tantangan (konsep dan realitasnya), kini menjadi satu kekuatan penting di Indonesia.

Secara ilmiah, gagasan ini kemudian dipadatkan melalui sebuah seminar yang dilaksanakan pada 8 Desember 2004 oleh Ikatan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponogoro (Semarang), dengan tema “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) di Indonesia”. Sejumlah materi dalam seminar tersebut, akhirnya dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul “Menggagas Hukum Progresif di Indonesia” (bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006), yang disunting Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (2006).

Dalam buku tersebut, A. Qodri Azizy menyebutkan (2006): “Hukum di Indonesia lebih sering menjadi korban kritikan, bahkan juga hujatan oleh pelbagai pihak, tanpa ada solusi yang ditawarkan untuk ke depan. Selama kenyataan seperti itu, belum bahkan juga mungkin tidak akan muncul solusi peran hukum di Indonesia sesuai dengan yang kita harapkan.”

Ada catatan penting yang diberikan Prof. Tjip, bahwa faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk lebih memberi tempat kepada hukum. Salah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum, menurut Prof. Tjip, adalah dengan ide (penegakan) hukum progresif. Catatan penting lain yang diberikan Satjipto (2006) dalam “Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), bahwa berbicara ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi.

Perkembangan Mutakhir
Intinya adalah upaya Prof. Tjip untuk melahirkan hukum yang membahagiakan: ”... teori hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti” (Suteki 2008). Suteki (2008) juga menyebutkan bahwa, “... dalam teori hukum progresif, manusia berada di atas hukum. Hukum hanya menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu dokumen yang absolut dan ada secara otonom. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum bila perlu melakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membuat bahagia.”

Prof. Tjip tetap mengingatkan bahwa upaya mengembangkan hukum progresif membutuhkan waktu yang lama. Prof. Tjip menulis: “Untuk menumbuhkan dan mengembangkan gagasan hukum progresif masih dibutuhkan waktu lama dan sumbangan pikiran banyak pihak yang menggunakan perspektif hukum progresif dalam menyoroti bidang masing-masing. Hukum progresif mengajak kita untuk menyadari, bahwa hukum adalah satu hal dan menjalankan hukum tersebut sebagai hal yang lain. Hukum sebagai teks adalah awal saja dan akhirnya akan sangat tergantung bagaimana faktor manusia menjalankannya.” (Yudi Kristiana 2009).

Hukum progresif adalah gagasan besar yang lahir dari pergulatan. Tahun 2002 sebenarnya lebih tepat disebut sebagai masa penataan, dari serangkaian tulisan (gagasan) yang sudah lama dilahirkan.
Buku terakhir Prof. Tjip, melalui lapisan-lapisan hukum, sudah menggambarkan bagaimana gagasan Prof. Tjip sudah mulai beranjak masuk ke wilayah selanjutnya yang lebih dalam, deep ecology, hukum dilihat sampai pada titik terdalam. ”Kehidupan sejagat yang dilihat dari kacamata ’ekologi dalam’ (deep ecology) melibatkan semua entitas kehidupan di dunia tanpa ada yang tercecer, yaitu mulai dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Semua terhubung menjadi satu sebagai satu kesatuan kehidupan.” (Satjipto Rahardjo 2009). Prof. Tjip menjadikan pikiran Capra sebagai cermin untuk memetakan bagaimana pada masa depan semua permasalahan saling terkait satu sama lain. Capra sendiri menggunakan ’ecology’ sebagai cermin bahwa ekosistem harus dilihat dengan holistik. Intinya adalah tentang holistik –bahwa cara pandang baru terhadap sesuatu masalah, tidak bisa dilepaskan dengan masalah lain yang selalu berkaitan dengannya. Cara pandang ini kemudian dipadukan dengan saling berhubungan dengan proses pemahaman, penjelasan, hingga pemecahan masalah.

Gagasan mutakhir Prof. Tjip ini, sebenarnya adalah gambaran bahwa tradisi pemikiran hukum yang tidak boleh berhenti –dan terus bergerak ke depan. Segala pemikiran tiada berhenti –apalagi bila sampai mundur beberapa langkah ke belakang.

Buku tersebut juga konstruksi bahwa hukum progresif itu belum selesai. ”Beberapa gaya baru yang ditampilkan oleh Prof. Tjip, menempatkan secara istimewa pikiran Fritjof Capra mulai dari The Tao of Physic, The Turning Point, The Web of Life, sampai The Hidden Connection –cukup memberi tanda bahwa perkembangan pemikiran hukum hendaknya terlibat dalam percaturan intelektual dan sains mutakhir.”

Terlepas dari pro-kontra yang terjadi dengan gagasan hukum dan ilmu hukum ini. Namun yang jelas, hukum progresif telah menjadi suatu kenyataan dan kerangka cara berhukum yang penting di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor