Senin, 24 Mei 2010

Gomar Gultom, Memperjuangkan Pluralisme Tanpa Gus Dur

Gereja adalah ekklesia di mana umat yang dipanggil keluar dan masuk ke dalam terangnya yang ajaib. Itu artinya Gereja harus menjadi terang bagi kehidupan banyak orang. Namun, kerapkali Gereja tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan banyak orang, padahal “Tuhan itu baik untuk semua orang.” Kita harus mampu mengimplementasikan bahwa Tuhan baik kepada semua orang, tidak hanya kepada PGI saja. Apakah dia Pentakosta atau Saksi Jehowa atau pun umat lain. Karena Tuhan juga baik terhadap mereka.
Demikian kata Sekretaris Jenderal Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Gomar Gultom, saat menerima TAPIAN di ruang kerjanya di Gedung PGI di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Dia baru saja terpilih menjadi sekretaris jenderal perhimpunan gereja-gereja di seluruh Indonesia. Huria Kristen Batak Protestan yang mencalonkannya.
Gomar adalah anak dari Teodosus Gultom, seorang pegawai di Departemen Agama, sementara ibunya adalah Ramean Siregar, seorang parrengge-rengge atau pedagang kata orang kebanyakan. Dia lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, pusat HKBP, yang merupakan sinode gereja terbesar di Asia Tenggara, pada tanggal 8 Januari 1959. Masa kecilnya, dilewatkan di kota tersebut hingga umur enam tahun. Baru kemudian pindah ke Medan mengikuti kepindahan ayahnya sebagai pegawai Departemen Agama. Sekolah dasarnya dia tamatkan di SD GKPI Air Bersih, Medan. Sedangkan sekolah menengah pertama lulus dari SMP Kristen III, Salatiga. Dia menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMA Kristen I PSKD, Jakarta. Lalu dia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Saat ini, di kampus yang sama, dia sedang menyelesaikan pendidikan tingkat doktoral di jurusan devinity atau pelayanan.



Perawakan kecil dengan visinya yang besar untuk kemajemukan bangsa. Gomar bergerak lincah melakukan tugas yang disebutnya sebagai ”pengabdian bagi Tuhan dan Negara.” Di Jakarta, sebagai anak dari vorhanger atau penatua di HKBP Pulo Asem, Gomar tentu aktif di gereja. Namun, menurutnya, ilham yang membuat dia tertarik menjadi pendeta adalah Alfred Simajuntak, pencipta lagu Bangun Pemuda-Pemuda, ketika sang komponis menjadi pengajar untuk para guru Sekolah Minggu di mana Gomar juga menjadi salah seorang tenaga pengajar. Alfred tidak saja menggugah batin, tetapi juga memberi semangat dan kemampuan bagi Gomar yang telah memutuskan untuk menjadi seorang Hamba Tuhan.

Gomar takkan lupa pada orang-orang yang telah turut mengantarnya sampai di puncak kariernya sekarang ini sebagai pengelola dari sekian banyak gereja dengan sekian banyak kecenderungan di seluruh negeri ini. “Melalui pengajaran, Simanjuntak mendorong saya untuk masuk sekolah teologia. Saya juga banyak dipengaruhi oleh pendeta Sahat Rajagukguk, seorang pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia, yang adalah juga salah seorang pengurus PGI. Beliau jugalah yang mendorong saya untuk terjun dalam gerakan okumene. Selain itu, S.A.E. Nababan turut juga memberikan pengaruh pada saya. Dan, yang tidak kalah besar pengaruhnya adalah ayah saya. Ayah saya dulu bekerja di Departemen Agama, dan duduk sebagai vorhanger di HKBP Pulo Asem.” Begitu dia melihat ke belakang, mengenang, menghitung orang-orang yang telah berjasa membawanya ke puncak yang menjadi dambaan semua orang yang telah berserah diri menjadi hamba Allah.

Cinta pertama
Lulus dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Desember 1983, dia lalu menjalani masa vikariat atau penggemblengan sebelum menjadi pendeta di Tongging, Tanah Karo, persis di bibir Danau Toba. Gomar tidak mau duduk di menara gading Gereja sebagai “amang pendeta” yang sabam hari mempersiapkan khotbah di mimbar. Buat di khotbah bukanlah rangkaian kata-kata yang dibiarkan kosong. Khotbahnya adalah tindakan langsung, dengan terjun mengurusi masalah-masalah sosial dan melakukan penyadaran hukum melalui Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Gomar mencoba melalui LSM tersebut menjalankan panggilan gereja untuk hadir bersama masyarakat miskin, lemah dan menderita. Gomar tidak pernah mematok gelanggang pelayanan hanya di gereja. Dia juga menjadi dosen bagi para calon pendeta di STT Nomensen, Pematang Siantar. Dia sempat juga memberikan pelayanan khusus untuk pemuda di HKBP Resor Petojo, Jakarta. Gomar juga yang menggagas penyelenggaraan Perkemahan Kerja Pemuda Gereja.

Sebagai pendeta dan juga aktivis dia bersentuhan dengan Lembaga Penyadaran Hak-Hak Warga Negara, di Jakarta. Selain ikut menggagas berdirinya Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dia juga aktif dalam Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Tahun 1991, dia dipercaya menjadi Kepala Biro Pembinaan HKBP.
Masa mudanya dia lalui seperti air yang mengalir. Sebagaimana seorang pemuda dia juga mengalami cinta pertama dan sekaligus menjadi cinta terakhir bersama Loli Jendrianita Simanjuntak, seorang dokter spesialis ilmu penyakit dalam di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan. Kedua sejoli ini dipertemukan oleh pandangan pertama. Mereka berkenalan pada waktu Gomar duduk di bangku SMA, sedangkan Loli masih SMP ketika itu.

“Saya kenal dia waktu itu saat masih SMP. Saat itu, kita berkemah di Gunung Pangrango, Jawa Barat. Pulang dari sana kita mampir di Cianjur, rumah sepupu dari salah satu teman. Di sinilah pandangan pertama itu menemukan mimpinya. Di situlah kami kenalan, dikenalkan saudara sepupu teman saya itu. Sejak itu, kita surat-menyurat. Lancar terus-menerus. Kita pacaran semenjak SMA hingga perguruan tinggi,” ujar Gomar mengenang masa-masa romantisnya sebelum membangun biduk rumahtangga. Tuhan mengaruniai pernikahannya seorang puteri, Agustina Marisi Nauli, yang saat ini menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.

Sebelumnya, Gomar tidak pernah dijagokan untuk menempati posisi Seketaris Jenderal di PGI. Lima tahun lalu, Gomar dipercayakan sebagai Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia, yang memberikan ruang lebar kepadanya untuk bisa melayani umat. Sebagai Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia, dia amat aktif dan mendorong penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia. Pada Sidang Raya di Mamasa, Sulawesi Tenggara, Gomar terpilih menjadi Sekretaris Jenderal mengantikan Richard Daulay dari Gereja Metodist Indonesia. Sedangkan ketua umum tetap berada dipundak A. A. Yewangoe.

PGI adalah organisasi gereja Protestan yang menaungi sekiatar 80-an Sinodal, dan itulah yang membuka wacana baru yang lebih luas bagi cakrawala pikiran Gomar tentang perlunya semangat pluralisme. Di PGI, Gomar merasakan sekali suasana yang saling menghargai yang menjadi esensi konstitusi tentang kebebasan beragama. Implemetansinya adalah menghargai orang yang berbeda agama. Yang harus dilakukan para pemimpin umat adalah membina umatnya sendiri supaya tidak tergoda dengan ajaran yang berbeda, demikian kata Gomar.

Menurutnya, untuk menyelesaikan masalah-masalah konstitusi, gereja harus terus aktif berjuang agar penyelesaian masalah tidak dibelokkan oleh semangat sektarianisme. “Hukum adalah produk politik dan merupakan cerminan kemenangan dari kekuatan politik yang nyata. Di dalamnya termasuk penguasaan taktis legislasi, bukan hanya soal kekuatan jumlah. Oleh karena itu, gereja harus melibatkan diri di sini, walau berada dalam jumlah yang kecil, agar produk hukum tidak bias untuk kepentingan agama tertentu.”

Membela Ahmadiyah
Mengapa tertarik pada gerakan okumenis? “Gereja itukan ekumenis, artinya satu kesatuan. Gereja yang mula-mula sampai gereja yang sekarang harus okumenis. Di PGI gerakan itulah yang kita bangun. Saya ditugaskan HKBP untuk duduk di PGI. Tetapi jauh sebelum menjadi pendeta, semasih di STT Jakarta, saya sudah bergelut dalam gerakan ini. Pertama, di komisi pemuda ekomenis,” katanya. Dia pernah duduk sebagai Wakil Ketua Kelompok 17 yang menggagas pembinaan pelayanan pemuda di Biro Pemuda PGI.
“Banyak orang yang tidak tahu banyak apa yang dilakukan PGI. Banyak yang telah dilakukan, tentang legislasi nasional, tentang penegakan HAM, penegakan hukum di Indonesia. Misalnya membela Ahmadiyah. Nggak ada lembaga-lembaga gereja selain PGI yang berani membela Ahmadiyah, dalam rangka kebebasan beragama. Hanya saja media tidak pernah memberitakannya, mungkin karena PGI tidak seksi untuk diberitakan,” ujarnya terbahak-bahak.

Hubungan dengan agama lain? “PGI menjalin hubungan dengan agama-agama lain, dengan semua elemen bangsa, dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dengan Hindu, Budha, bahkan dengan Parmalim sekalipun. PGI konsisten dalam mengawal konsitusi kita. Belakangan ini konstitusi kita tergerus oleh semangat sekretarianisme, fundamentaslisme, yang ingin menggantikan konstitusi dengan syariah agama,” katanya menunjukkan.

Selain aktif di gereja, Gomar juga giat di dalam masyarakat, sebagai aktivis dalam pelayanan buruh melalui PMK HKBP, bersama Luhut Pangaribuan, Ade Rostina Sitompul, Asmara Nababan, Yoppie Lasut dan beberapa pengacara lainya dari Lembaga Penyadaran Hak-Hak Warga Negara (LPHWN) di mana Gormar juga dipercaya sebagai sekretarisnya. Lewat lembaga ini pula, bersama teman-temannya, Gomar memberikan penyadaran hukum kepada para tahanan politik, terutama tahanan politik eks-PKI yang sangat rentan posisinya dan hampir terabaikan dalam aspek kehidupan selama rezim Orde Baru.
Tahun 1999-2004, Gomar juga aktif dalam pelayanan masyarakat Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK), dan jabatan terakhirnya adalah Direktur Program. JKLPK sendiri sangat aktif mengadvokasi pembentukan Kabupaten Mentawai. Juga mencarikan jalan damai bagi konflik di Papua dan Maluku.

Sedari dulu Gomar juga aktif membangun semangat kemajemukan. Pada aras gereja dia aktif dalam gerkanan oukumenis dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika bersama-sama dengan agama lain. Dia ikut menggagas berdirinya Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dan aktif dalam Aliansi Nasional Bhinneka Tungga Ika. Kedua lembaga ini, dengan semangat yang sama, bergerak melawan semangat sektarianisme, fundamentalisme, yang coba menggerus semangat keberagaman.
“Selama ini kita terkooptasi, terkotak-kotak. Pelarangan terhadap Ruma Parsaktian di Jalan Air Bersih, Medan, oleh jemaat HKBP ditentang oleh PGI. Saya sebagai sekretaris esekutif bidang Diakonia PGI ketika itu melakukan pertemuan dengan jemaat HKBP yang menentang berdirinya Ruma Parsaktian itu. PGI mendukung berdirinya Ruma Parsaktian di Jalan Air Bersih. Orang berhak mendirikan rumah ibadahnya. Yang kami perjuangkan adalah kebebasan beragama, bukan memperdebatkan masalah doktrin,” katanya menjelaskan.

Dia pendeta tulen sekaligus aktivis murni. Itu bisa terbaca beberapa waktu lalu, saat Gomar mengikuti pertemuaan lintas agama yang juga dihadiri Pangeran Charles dari Inggris. Gomar mengenakan baju tohonan, baju pendeta mirip baju koko, berwarna hitam. Sebagai aktivis, keberanian Gomar terlihat saat mimimpin demonstrasi anti-globalisasi di dekat Istana Malacanang, Manila, tahun 2003 lalu. Demikian pula, pada bulan Maret 2009 lalu, saat pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) dan gedung Serbaguna HKBP di Jalan Pesanggarahan, Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok oleh Walikota Depok Nurmahmudi Ismail. Lewat keputusan Walikota Depok tersebut menyebabkan ditutupnya Gereja HKBP itu. Gomar melawan budaya otoriter tersebut. Dia memimpin doa keperihatinan.

Pembakaran rumah ibadah
Semangat perlawanan tersebut terinspirasi oleh keberanian Gus Dur yang mau berjuang untuk tegaknya kebebasan beragama. “Gus Dur telah memberikan pelajaran bagi kita. Dia selalu memasang badan untuk orang-orang yang berupaya memberangus kemajemukan, yang mencoba merongrong semangat kemajemukan tersebut. Kita tidak menafikan adanya gesekan selama ini. Tetapi, buah hidup yang diperjuangkan oleh Gus Dur selama ini sudah mulai bersemi. Kami sebenarnya mau pergi ke kuburan Gus Dur, tetapi oleh Gus Solah (Solahuddin, adik Gus Dur) meminta jangan dulu datang ke sana, sebab sampai hari ini masih berduyun-duyun orang datang ke kuburuannya.”

Menurut Gomar, dia beberapa kali bertemu dengan Gus Dur, di PGI, di Cigajur, rumah Gus Dur sendiri, bahkan tatkala sama-sama menjadi narasumber pada seminar atau diskusi tentang kebebasan beragama. “Kita kehilangan Gus Dur. Tetapi, melihat respon masyarakat terhadap kematian beliau, itu artinya bahwa ke depan kita tidak perlu takut terhadap benih pluralism yang mulai bersemi. Selama masyarakat memperjuangkan kemajemukan yang telah ditancapkan Gus Dur, asal selalu kita sokong, niscaya kebebasan beragama akan bersemi. Kita harus mandiri. Tanpa Gus Dur kita harus terus memperjuangkan pluralisme tersebut. Kita harus menjadi dewasa, dan terus merawat pluralime itu. Dengan PGI sendiri, Gus Dur sangat akrab. Bermula dari Sidang Raya PGI di Surabaya, ketika Gus Dur mengajak perserta sidang mengunjungi pesantren. Kita melihat figure Gus Dur sebagai bapak pluralisme yang terus memperjuangkan kebebasan beragama,” ujar Gomar. Ini juga yang disampikan oleh Gomar pada saat pelucuran buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, awal Januari lalu.

Sekarang, kebebasan beragama memang masih jauh dari harapan, masih ada riak-riak yang selalu membuat gesekan, misalnya penutupan bahkan pembakaran rumah ibadah. Tetapi, jika banyak sosok yang berjuang seperti Gomar Gultom, maka kebebasan beragama bukanlah cita-cita yang kosong. Kelak Indonesia tidak dinilai sebagai negara demokrasi yang abu-abu, tetapi negara demokrasi dengan jumlah penduduk yang besar yang menghargai kebebasan beragama bagi semua penganutnya.***Hotman J. Lumban Gaol


Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor