
Matahari sungguh bersahabat menyinarkan cahaya mata apinya pada punggung pagi yang cerah. Pun kemilau gilau memantul pada helai-helai tanaman hijau berbunga, yang tumbuh di sekitaran seolah menjadi cermin pantul cahaya. Bebutir air yang tersangkut malam, masih terlihat satu-satu pada kelopak megah bunga-bunga menyambut biru mega, tertata rapi di pinggiran bangunan jalan, pada taman-taman yang berkelompok simetris. Semua yang berada pada putaran waktu bumi serentak bernyanyi riang dan gembira menggemakan warna warni sempurna menyambut tiba dan hadirnya sepasang kekasih abadi yang berpadu ikrar janji sehidup semati.
Mada dan Fawa berjalan menyusuri taman bunga yang bermekaran di halaman depan sebuah bangunan tua megah yang telah berdiri ribuan tahun. Pendamping, sanak saudara, dan para undangan yang turut serta seketika memberikan arah ruang gerak kosong yang menjadikan binar pengantin pada saat itu terfokus. Genggam mesra pada dua tangan yang merapatkan sentuhan dengan halus menjadi bintang yang menyentuh sinar dan lalu bercahaya berjalan beriringan di hari yang bahagia yang telah dinanti-nantikan sejak lama.
Pada laras langkah kaki menggema, hening menyambut diam para undangan yang memiringkan kepala dan badan untuk memandang langkah kaki pengantin memasuki pelataran bait itu. Decak kagum terlihat pada sungging lesung senyuman yang mengukir harunya pada setiap pipi makhluk yang hadir di tempat itu. Itulah peran senyum lesung yang tertahan menawan. Melecutkan haru dan kagum tanpa harus terbahak. Adakah hari yang lebih indah dari bahagia yang bersatu pada sepenghujung rindu dan cinta menyatukan diri pada ikrar janji sehidup semati sosok insan yang sedang berjalan ini?
Tanpa keragu-raguan setitikpun, Mada dan Fawa, sepasang kekasih abadi saling menyatukan tatapan bening mata. Bening mata yang mengusir dan membersihkan debu-debu yang berkejaran dengan angin yang kerap menempelkan diri di setiap langkah mengalahkan detik waktu. Waktu seolah berhenti, ruang seolah sepakat memberikan saat-saat terbaik menjelang kesempurnaan memeluk sang pengantin abadi.
Iringan lagu riang bukan meriah dari lotspiker, turut mendayu selandai bayu yang terayun seperti hendak membaringkan permadani nada ayu kemayu nan menawan dalam stanza iringi langkah kencana pengantin menyambut kereta altar.
Terdengarlah senandung lagu "Let it be me", sebuah lagu dari Francis yang digubah Gilbert Becaud yang pada kemudian hari dinyanyikan kembali oleh musisi dan penyanyi Bob Dylan dengan apik sempurna menggema. Lagu ini melenakan sekaligus memusatkan seluruh perhatian kepada langkah-langkah pengantin. Pun beberapa kalangan dengan berani menyatakan bahwa lagu ini adalah lagu pengiring pengantin abadi. Lagu abadi untuk pengantin abadi. Perpaduan yang menarik dan menawan bukan.
Sejenak perhatian kembali berkumpul pada punggung pasangan pengantin yang sedang menyisir menaiki anak tangga altar satu persatu dengan nada langkah yang lemah lembut. Disana telah menunggu penjaga-penjaga bait altar yang bertugas melaksanakan tugas dan menjalankan fungsinya. Salah satunya menikahkan pasangan pengantin yang biasanya dilaksanakan oleh pekabar berita altar.
Ya, berita altar yang menjadi berita cerita yang berulang-ulang digemakan dari mimbar. Pun terkadang menjelma menjadi bahan cerita pun dalam suasana suka ceria pun dalam duka derita. Itulah hidup, penuh suka ceria bergayut duka derita, diulang-ulang seperti radio abadi dari pengeras suara berita mimbar, tempat pengantin saat ini menghadap suci altar.
Nampan bertalam tahana perak perlahan mendekat memecah ruang antara penjaga bait dan pengantin yang berdiri penuh gelegar rindu dan cinta yang hendak menyatu satu rupa dan dupa. Para undangan yang duduk manis di kursi-kursi belakang menanti sepenuh harap akan ucap sumpah sehidup semati di hadapan altar yang suci.
Sebelum jemari berpadu satuan genggam, tubuh berpeluh getar satuan desah, hasrat membahana gelar satuan asmara abadi, pekabar berita altar membacakan pengumuman terakhir. Sebagai pertanda bahwa satu kehidupan yang lama telah berlalu, dan kehidupan baru menjelang di hadapan penyatuan dua insan dalam mahligai ikrar janji sehidup semati.
"Adakah yang keberatan, terhadap penyatuan kehidupan dua insan di hadapan saya ini?"
Suara berat itu bernada mencari tahu menyelisik gerakan tangan yang mengacung ke udara membelah keheningan suasana beberapa saat pertanyaan itu terlempar dari mimbar altar.
Sesama hadirin saling melongok menengok dan memandang mata-mata yang bertaburan di sekitaran. Perihal apakah ada gerangan satu ekor makhluk yang mengibaskan ekor suaranya meneriakkan lengking pekik keberatan mengudara sebelum cincin melingkar di jari tangan pasangan pengantin.
"ADA!, keberatan ini bukan asal-asalan, keberatan ini berdasar pemikiran. Pun di kitab-kitab dituliskan. Termasuk kitab bait altar. Disana tertulis, pada kisah penciptaan manusia pertama. Mada dan Fawa itu saudara sedarah, sejak Adam dan Hawa. Apakah bait altar menyatukan saudara sedarah dalam pernikahan bertudung suci berbalut emas cincin?"
Lengang suara berat bernada bariton itu terdengar dari sudut pojok kiri bait altar. Seorang lelaki berjubah hitam bermata merah, berambut tak beraturan, kedua tangan berada disaku celana. Suara itu lantang membahana padahal diucapkan seperti berbisik saja.
Seketika para hadirin menjadi berwajah tanya, penuh tanda tanya. Bicara apa orang ini, sinting! Darimana asalnya usul sedarah saudara itu mengalir dari kerongkongannya. Pun pekabar altar kehabisan nada suara. Tidak seperti biasanya berkoar-koar membentak jemaat yang mengantuk setiap berita cerita didongengkan.
Mada dan Fawa terhenyak kehilangan pegangan. Tanpa disadar, jemari telah saling pegang erat, seolah menghadang rasa takut yang setibanya menjalar menjulur dari sulur-sulur mulut si pekeberatan. Ya, keberatan yang hampir jarang sekali terdengar pada setiap akad-akad pernikahan muda mudi. Mada dan Fawa mendekat satu sama lain. Menyatukan detak jantung, getar hati, suara jiwa, menghadapi pertanyaan aneh yang tidak lazimnya itu. Hampir saja merusak hari terbahagia pasangan abadi ini.
Sesama segenap makhluk kini menjadi berwajah bingung, kehilangan putusan. Seolah menyusup ke sanubari masing-masing, sebuah getir sayat kebenaran dari kata per kata yang keluar dari balik jubah lelaki berjubah hitam bermata merah nyala.
"Tidak, tidak.. ada aturan dengan jelas menyatakan, bahwa perkawinan sedarah itu haram. Hanya jalang yang tak tahu jalan yang mengawini saudara sedarah"
Teriak lepas dari seseorang di sudut kanan di barisan depan bait altar.
"Lah, loh, ayah...ibu..saudara itu apa? sedarah itu apa? manusia itu apa?"
Seorang bocah baru belajar membaca di sekolahan menghentikan alunan bingung di kepala kedua orang tuanya yang duduk di barisan tengah mengapit tubuhnya yang kecil di selang tengah.
"Anak kecil jangan banyak tanya, turut saja sama perintah orang tua, diamlah nak, jangan sok pintar"
Mencoba bijak sang ayah memberikan jawaban, yang sepertinya tak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan. Sementara ibu biasanya tak banyak bicara, tak perlu tanya jawab, ia langsung bertindak sepenuh cinta kepada anaknya. Itukah bijak ayah? Pertanyaan terakhir yang sekaligus membungkam kepala cair si anak mungil yang suka jahil menjahit tanya di udara. Semoga saja kepala cair si anak tidak membeku menjadi kepala batu.
Suasana hening, mencengang. Bukan cekam namun hanya sebentuk kebingungan yang berbisik dimana-mana. Tapi tak satupun solusi diketengahkan. Pun aturan peraturan tak menjawab persoalan keberataran si lelaki pengkeberatan.
"Jadi, kami harus bagaimana saudara-saudara sekalian?"
Penuh harap akan sebuah solusi nyata, mengalir dalam suara memecah keheningan. Membelakangi altar sudah pasangan ini, membelakangi wajah tampan si pekabar berita, dan tanpa sadar telah menghadap wajah si lelaki pengkeberatan. Barangkali tanya itu juga sengaja dilemparkan ke telinga besar si pengkeberatan yang tanpa aling pikir menginterupsi keindahan seketika.
"Sayang, aku tidak tahu harus berkata apa, kehadiranmu adalah segala arti bagiku, cinta yang membalut aku dan kau seutuhnya, sesungguhnya bukan cinta melodrama sinetron lama ketinggalan jaman. Cinta kita bukan cinta biasa sayang. Cinta ini abadi. Fawa, pengantin wanita Mada mengenyuhkan tubuh kata di kedalaman hatinya yang lemah lembut penuh kasih penuh pengertian dan pengharapan"
Sejenak, Mada melepas tatap ke wajah bingung si pekabar berita yang cuma bisa membaca teks berita. Tersirat disana, di bola mata itu, tidak ada jawaban!!. Bola-bola mata yang kehilangan tajam pandang, menyatu bersama ilusi khayalan. Ya, itulah pertanda sebuah keputusan mesti segera dikumandangkan. Cukup!! ENOUGH!!
Lalu Mada menarik tubuh gemulai Fawa kekasih sejatinya. Mengucapkan sebuah bisikan abadi dari getar suara membelai alunan nada telinga Fawa.
"Fawa, sayang...
tahukah kamu disekujur tubuhmu tak ada siku siku.
hanya landai lesung dan gunung.
selalu selamanya membuatku tersenyum pulung riang dan gembira.
aku menyelancar menuruni menaiki setiap jengkal mu.
disana aku tak pernah terluka.
hanya tergelincir dan terjerembab."
Tiba-tiba, Mada mengecup mesra bibir merah ranum Fawa. Hanyut dalam kecupan abadi yang terindah. Di hadapan sang altar yang membisu. Kemudian sang pasangan kekasih abadi tersenyum menawan, melambaikan lambaian terakhir penuh kenangan.
Gambaran lambaian ucapan terima kasih yang paling sederhana dan asli. Segala tanya dan kebingungan tak lagi menjadi persoalan. Pun jawaban tak lagi diperlukan. Aturan dan peraturan yang batu dan paku, suci dan syahih, tak lagi menjadi kekangan memenjara. Kini, yang ada hanya Cinta. Jenis Cinta yang baru. Kasih Putih, keutuhan rindu dan cinta, Mada dan Fawa.
Pasangan abadi berlalu. Kembali menjejakkan langkah di permadani keindahan yang menyambut kedatangan dan kehadiran di awal kenangan. Cincin emas jemari tak lagi menyilaukan mata. Biar itu menjadi semiliknya pekabar berita. Barangkali mereka akan tersenyum merekah kejatuhan rejeki nomplok tiba-tiba. Kaki langkah berjalan dalam kesederhanaan utuh.
Antara Mada dan Fawa, tiada lagi tembok pemisah. Putih sudah lintasan kenangan, putih sudah rajutan harapan. Kembali alunan nada "Let it be Me" dari getar suara Bob Dylan menyuarakan sunyi hening senyaring bening...
Demikian syair lagu itu berkumandang membahana...
I bless the day I found you
I want to stay around you
And so I beg you, let it be me
Don't take this heaven from one
If you must cling to someone
Now and forever, let it be me
Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love what would life be
So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always let it be me
Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love what would life be
So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always let it be me
(song cover: Bob Dylan)
Di halaman depan bait altar, tersenyum menawan si lelaki berjubah hitam bermata merah nyalang. Seketika waktu tercengang lengang. Lelaki itu laksana sebuah keajaiban. Menjelma menjadi Rajawali Gagak Hitam sehitamnya hitam, dengan mata merah semerahnya merah. Cakar-cakar kaki serupa pedang bernyala sinar hitam.
Dari paruh waktu mulut Rajawali Gagak Hitam bergetar sebuah kenyaringan suara.
"Mari kekasih, Kasih Putih. Naiklah di pundakku yang Hitam. Kubawa kasihmu terbang melintasi gemintang ufuk bintang. Merah mataku menjadi penunjuk ekor lintasan kenangan dan harapan.
Merah Putih Hitam, menuju bintang menjadi bintang, bersinar berpendar cahaya semesta raya, sekarang dan selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar