Senin, 17 November 2008

By: Mekar Sinurat

Sebuah Kritikan Terhadap Kehadiran UU Pornografi

Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.

Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Isu pornografi merupakan masalah yang sangat berdimensi jender. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. Persoalan utama dalam pornografi adalah obyektifikasi dan eksploitasi seksualitas perempuan. Karena berbagai sebab, perempuan berada dalam situasi yang menyebabkan ketubuhannya terpapar, baik melalui media maupun yang tersembunyi, yang pada prinsipnya bertujuan komersial.

Kesalahan dan ketidakhati-hatian dalam perumusan dan berbagai ketidakjelasan dalam konsep dan cara berpikir dalam Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dapat berakibat fatal dan menimbulkan ketidakadilan. UU Anti Pornografi dan Pornoaksi juga dapat dibaca sebagai intervensi terlalu jauh negara ke dalam kehidupan privat warga negara, pemasungan terhadap hak sipil. Berdasarkan berbagai pengalaman keseharian perempuan (termasuk berbagai hasil penelitian), pengertian pornografi seharusnya mengakomodasi aspek penyalahgunaan seksual (bentuk pemaksaan, pemanfaatan, dan penipuan terhadap perempuan, khususnya korban perdagangan manusia yang dijadikan obyek seks); eksploitasi dan obyektifikasi seksual perempuan dan anak untuk tujuan komersial. Oleh karenanya merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak; pornografi merupakan isu hak sipil.

Kalaupun hendak dicari, pornoaksi sangat terkait dengan ”melanggar kesopanan di muka umum” yang diakomodasi Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bukankah sebenarnya yang menjadi target sasaran adalah bisnis hiburan yang mempertontonkan tubuh perempuan di layar kaca yang membuat ”jengah” sebagian orang? Adilkah ”menembaknya” melalui UU yang akan mengikat segenap warga perempuan (dan laki-laki) yang sebenarnya juga merasa terganggu dengan pertunjukan tersebut? Mengapa tidak ”membidik” pelaku bisnis pertelevisian sebagai penyelenggara tontonan? Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi Penyiaran Nomor 009/sk/8/2004.

Sebenarnya sebagian besar substansi yang diatur dalam UU Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah diatur setidaknya dalam KUHP, UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan demikian, pemberantasan pornografi adalah tanggung jawab polisi, kejaksaan, dan hakim, sehingga tidak diperlukan lagi ”Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional” (BAPPN) yang akan dibiayai APBN, sebagaimana diatur dalam UU ini.

Jika UU ini hendak dipaksakan juga, maka akan ada beberapa kekhawatiran dalam implementasinya yaitu:

1. Keberadaan UU ini akan menghapus kemajemukan budaya bangsa sehingga yang tertuang dalam konsideransnya malah bertentangan dengan substansinya. Berbagai hal tentang perkelaminan sangat terkait dengan masalah kebudayaan dan sejarah kesukubangsaan di Indonesia sehingga sukar menuding tradisi tertentu, bahkan ritual keagamaan dalam tradisi tersebut, sebagai tindakan pornografi, apalagi mengkriminalisasinya.

2. Ketidakjelasan dalam definisi dan prosedur akan menyulitkan penegak hukum dalam menangani kasus yang dipandang sebagai pornografi.

3. Pengaturan terhadap ruang privat yang dipaksakan untuk diatur dikhawatirkan akan menimbulkan pengekangan, pemaksaan, bahkan kekerasan negara terhadap warga negara melalui otoritasasi terhadap sekelompok orang yang akan bertindak sebagai ”polisi moral” dalam BAPPN (merujuk pada pengalaman empiris yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini).

4. Paradigma dan logika yang keliru dalam penyusunan UU Pornografi, yaitu adanya campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat. Negara kita adalah negara hukum maka harus memakai prinsip-prinsip hukum di dalam menyusun hukum. Jadi jangan masalah nilai-nilai subyektif dipakai dalam menyusun UU yang malah akhirnya bertabrakan dengan nilai-nilai orang lain.

  1. Penyusunan UU Pornografi juga melanggar UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut menjadikan dan menjamin Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip setiap pembentukan perundang-undangan. Apalagi UU ini mencoba mengatur masalah pornografi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang pada faktanya mememeluk ragam agama. Padahal masalah pornografi dalam beberapa bagian atau seluruhnya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait dengan keyakinan seseorang. Misalnya, pakaian seorang Muslim tentu berbeda dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian aspek pornografitasnya pun juga mestinya berbeda.
  2. UU Pornografi merupakan kriminalisasi dan penghinaan terhadap perempuan. Penghinaaan terhadap wanita seakan-akan perempuan itu perayu. Perempuan dijadikan sebagai obyek bukan subyek. Seharusnya upaya perlindungan perempuan tidak hanya diukur untuk kegiatan pronografi, karena ukuran pornografi yang ditafsirkan sebagai kegiatan yang menyebabkan timbulnya hasrat seksual tidak dapat disamakan, tapi beragam tergantung pengaruh budaya dan konstruksi lingkungan sosial di tiap-tiap daerah.
  3. UU Pornografi memberikan amunisi untuk masyarakat bersifat anarki karena dalam pasal 20 disebutkan 'Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Adanya sejumlah kelemahan tersebut, UU Pornografi kendati sudah disahkan masih tetap ada upaya untuk menolaknya. Biasanya suatu UU guna dapat diterapkan maka harus ada aturan pelaksananya seperti peraturan pemerintah (PP). Dalam hal ini masyarakat bisa berjuang menolak PP pornografi, bahkan memperjuangkan adanya revisi/amandemen. Atau masyarakat dapat mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor