Minggu, 11 Oktober 2009

PARADIGMA PERKEMBANGAN KEJAHATAN

A1. Studi Perkembangan Kejahatan
Kejahatan sebagai fenomema sosial, tetap dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, seperti: politik, ekonomi, sosial, budaya, serta hal-hal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara. Study kejahatan sejak era Lamborso samapai dengan perkembagan studi kejahatan melalui perspektif dan paradigma Trikhotomi ataupun Dikhotomi pada tahun 1970-an telah dilaksanakan oleh kriminolog. Secara yuridis kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Sedangkan secara sosiologis kejahatan adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat.

Studi kejahatan yang pertama kali dipenagruhi oleh anggapan bahwa orang jahat (penjahat) itu dipengaruhi oleh roh-roh jahat atau dirasuki oleh setan. Menurut anggapan ini jika seseorang dirasuki oleh setan, kemungkinan otaknya menjadi tidak sempurna. Selain itu ada juga yang mengemukakan bahwa kejahatan yang ditujukan kepada manusia dipengaruhi oleh iklim panas, sedangkan yang ditujukan kepada harta benda dipengaruhi oleh iklim dingin. Pandangan ini adalah hasil dari teori termal (termal theory) yang diperkenalkan oleh ahli geografi pada abad ke-19.
Menurut penulis, baik pandangan yang mengatakan bahwa kejahatan itu adalah sebagai pengaruh dari roh jahat, maupun sebagai akibta dari musim panas dan dingin, akhirnya teori tersebut dapat dipatahkan oleh aliran (Mazhab klasik) yang muncul pada abad ke-18 dan dipelopori oleh Cesare Beccaria, seorang ahli matematika berkebangsaan Italia. Mazhab ini didasarkan pada teori hedonistik. Aliran ini dengan doctrine of free will nya mendasarkan pada filsafat hedonistis yang memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan memilih perbuatan yang dapat meberikan kebahagiaan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang akan memberikan penderitaannya. Pada dasarnya Beccaria menerapkan doktrin ini sebagai doktrin dalam penologi.
Landasan dari aliran kriminologi klasik ini adalah individu dilahirkan bebas dengan kehendak bebas free will-nya. Untuk menentukan pilihannya sendiri, individu memiliki hak asasi diantaranya hak hidup, kebebasan serta memiliki kekayaan. Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasi perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah. Pada dasrnya aliran ini berpandangan bahwa adanya kebebasan kehendak sedemikian rupa sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau berusaha mencegah kejahatan.
Ciri-ciri atau landasan kriminologi klasik dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Manusia dilahirkan degan kehendak bebas (free will) untuk menentukan pilihannya sendiri.
2) Manusia memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup, kebebasan serta memiliki kekayaan.
3) Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah.
4) Setiap warga negara hanya menyerahkan sebagian dari hak asasinya kepada negara sepanjang diperlukan oleh negara untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan sebagian terbesar dari masyarakat.
5) Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial. Oleh karena itu, kejahatan merupakan kejahatan moral.
6) Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan untuk memelihara perjanjian sosial. Oleh karena itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan pada kemudian hari.
7) Setiap orang dianggap sama di muka hukum. Oleh karena itu, setiap orang seharusnya diperlakukan sama.
Karena ketidakpuasan para ahli kriminologi terhadap aliran klasik, aliran kartografis mulai muncul ke tengah-tengah lapangan kriminologi. Yang dipentingkan dalam ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam ke daerah-daerah tertentu baik secara geografis, maupun secara sosialisasi. Mazhab ini tidak hanya meneliti jumlah dari kriminalitas secara umum saja, tetapi juga melakukan studi khusus tentang Juvenile delinguency serta mengenai kejahatan profesional yang saat itu cukup menonjol.
Mazhab ini banyak mendapat penolakan dari aliran sosialis sejak tahun 1850-an, khususnya oleh para tokoh sosialis yang mendapatkan pengaruh dari tulisan-tulisan Karl Mark-Angels. Penolakan terhadap mazhab sosialis dilancarkan oleh kaum-kaum tipologik yang beranggapan bahwa kejahatan bukan dihasilkan oleh pengaruh ekonomi, namun oleh perilaku manusia itu sendiri. Teori Lamborso dibangun atas penelitiannya mengenai ciri-ciri bentuk fisik dari ratusan narapidana dan menerangkan bahwa timbulnya kejahatan disebabkan oleh faktor bakat yang ada pada diri pelaku, serta kejahatan karena keturunan.
A2. Kejahatan Dalam Setiap Orde di Indonesia
a) Kejahatan Masa Orde Lama
Di era tahun 90-an kita diwajibkan untuk menonton G30S PKI, namun tanpa disadari tontonan yang diwajibkan itu adalah suatu bentuk kejahatan simulkrum yang paling sempurna. Langsung atau tidak langsung kita dihadapkan pada sebuah tontonan yang membut kita semakin tidak tahu bahwa itu adalah sebuah kejahatan. Simulakrum kejahatan sebagai prototipe praktek pembenaran kejahatan negara pada masa orde lama. Pengadilan kasus G30S adalah contoh yang tidak usang dimakan zaman. Peristiwa tersebut merupakan momentum penting dalam sejarah politik di negeri ini, termasuk dalam hal pemfungsian lembaga peradilan sebagai instrumen pembenar kejahatan negara, secara historis dapat ditelusuri asal-usulnya pada peristiwa ini. Selain alasan kesejarahan, pengadilan kasus G30S juga secara politik penting dibahas karena merupakan prototipe praktek pembenaran, khususnya untuk perkara subversi. Bahkan secara tidak langsung apa yang di benarkan pengadilan bukan hanya kejahatan negara, melainkan juga kebnagkitan suatu rezim politik baru. Singkatanya, dari sudut pandang politik periode tersebut adalah fase awal pemfungsian lembaga peradilan sebagai instrumen pembenaran simulakrum kejahatan.
Pengadilan G30S pada prakteknya tidak hanya mengadili para pelaku atau mereka yang terlibat dalam aksi militer G30S, melainkan juga orang-orang yang karena satu dan lain alasan dinilai juga punya kontribusi terhadap peristiwa tersebut. Dalam kasus-kasus demikian pengadilan terlihat semakin bias dengan kepentingan politik rezim yang baru.
b) Kejahatan Masa Orde Baru
Orde baru mempunyai tekad untuk mengembalikan tatanan dengan pembangunan negara Indonesia, yang telah dibinasakan oleh PKI, demikianlah orde baru yang sering menyebut dirinya dengan istilah Orde Pembangunan yang dipelopori oleh Soeharto. Dalam masa tersebut telah banyak dicatat berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dikaitkan dengan masalah keamanan negara. Walupun hingga pertengahan tahun 1998 belum ada undang-undang khusus yang mengatur masalah keamanan negara, tidak ayal sepanjang lebih dari 30 tahun ini sudah banyak korban yang jatuh karena perilaku negara dan aparat keamanan yang mengatasnamakan keamanan negara. Kekerasan selama Orde Baru berkuasa menjadi semacam fenomena yang sering dilihat sehari-hari oleh masyarakat kita. Celakanya kekerasan yang berkembang tidak hanya terjadi dalam hubungan sosial yang sejajar (horizontal) namun juga dalam hubungan politik yang hierarkis atau senjang (vertikal). Artinya aparatur negara juga kerap menjadi pelaku kekerasan karena diproduksi oleh negara kekerasan, itupun kerap tidka bisa dilawan, disembunyikan dibalik kesemrawutan hukum, atau bahkan dianggap sebagai perilaku legal. Tiga puluh dua tahun lebih rezim Orde Baru (Soeharto sebagai personifikasi Orde Baru, serta militer dan Golkar sebagai manifestasi ORBA, dan berbagai kroni di ekonomi, maupun di birokrasi) berkuasa, selama itu pula berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM dilakukan guna mempertahankan kekuasaan, dan menumpuk harta kekayaan.
Dari seluruh peristiwa kekejaman dan berbagai pelanggaran HAM tersebut ternyata sampai saat ini tidak satupun yang terungkap! Bahkan sebaliknya (sistem dan birokrasi) pada kenyatannya justru memberikan vonis bebas kepada Soeharto dan kroninya. Dari kenyataan itu sesungguhnya kita sadar bahwa hukum memang tidak berpihak kepada rakyat dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, hukum justru dijadikan alat untuk melanggengkan impunnity.
A3. Perkembangan Kejahatan di Era Reformasi:
Saat Menuai Simulakra Kejahatan
Kejahatan pada era reformasi ini jauh berbeda dari Orde Lama ataupun Orde Baru. Jika pada kedua Orde yang sudah terlewati berimplikasi kepada hukum, kekuasaan serta kekerasan. Pada Orde Reformasi, kejahatan diperlihatkan dalam bentuk yang lain, kejahatan mempunyai wujud yang tidak asli. Kejahatan itu disebut White Collar Crime yaitu salah satu bentuk kejahatan di era reformasi atau era kontemporer. Hukum sudah tidak lagi ada dan mampu menghadapinya.
Pada era reformasi dalam menentukan siapakah penjahat, apa itu kejahatan, ternyata tidak cukup dengan teori positivistik belaka. Disini, di ruang ini kita coba untuk berpikir kritis, berpikir jauh ke depan dalam memahami apa itu kejahatan sehingga ia menjadi kejahatan sempurna. Ia bukan merupakan selesainya tidak pidana, ia bukan terpenuhinya unsur-unsur yang ada dalam setiap pasal yang dijatuhkan, itu sempurna. Namun, bukan dalam konteks kejahatan sempurna, ia hanya sempura kesenian. Di sini kita mencoba melepaskan diri dari dari kungkungan peraturan (dalam hal ini KHUP), biar diri kita terbebas dari KUHP, demi suatu tujuan untuk menemukan arti kejahatan sempurna.
Kejahatan pada era reformasi ini sudah melampui arti daripada kejahatan itu sendiri. Kejahatan sudah mempunyai bentuk yang bisa dipalsukan, yang bisa dicoopy berulang kali, kejahatan sudah berada di dunia cyber. Kejahatan era reformasi terbebaskan dari dogma-dogma kejahatan tradisional, berada pada ruang yang lebih besar atau dengan meminjam istilah Jurgen Habermas ruang publik. Dunia kejahatan kita (paradigma, studi, pengajaran) benar-benar ada dalam kaedaan chaos, yang berfluktualisasi, berterbangan tidak menentu. Paradigma kejahatan yang akan ditawarkan dalam ruang ini adalah kejahatan sempurna The Perfect Crime. Jean Baudrilland, dalam bukunya The Perfect Crime menjelaskan kejahatan menjadi hyper ketika ia melampui berbagai realitas (hukum, moralitas, akal sehat dan budaya) ketika ia telah berkembang sedemikian rupa menuju tingkatannya yang sempurna (hyper criminalitas). Artinya kejahatan telah menjadi suatu wacana yang direncanakan, diorganisir dan dikontrol secara sempurna melalui teknologi tinggi, manajemen tinggi dan politik tinggi sehingga ia melangkahi otoritas hukum, melewati kemampuan akal sehat, dan melompati jangkauan nilai-nilai budaya dan moralitas. Dalam sudut lain, sebelum kejahatan sempurna ini muncul, ada pula yang disebut sebagai kejahatan top hat crime (kejahatan topi tinggi) atau crimes of politicians in office sebagaimana yang diutarakan oleh Dionysios Spinellis, kejahatan ini memiliki dua karakteristik, yakni penalization of politics, dan the politicising of the criminal proceedings.
Penyempurnaan serbuk-serbuk kejahatan, menjadi suatu makanan tersendiri. Ada fakta bahwa ada hal yang sudah dan selalu terselesaikan (per fectum). Suatu jalan simpang, bahkan belum memproduksinya sendiri dari dunia sebagaimana adanya. Karena tidak akan pernah ditemukan, tidak akan pernah ada penilaian final untuk menghukum atau membebaskannya. Tidak akan pernah ada akhir karena sesuatu selalu terjadi. Bukan merupakan resolusi ataupun pengampunan ataupun absolusi, tetapi keterbukaan konsekuensi tidak bisa dihindari lagi. Ada banyak cara menuju kekerasan atau kejahatan sempurna:
a. Ketika kejahatan (negara) pengadilan begitu kolosal dan masif sehingga melampui kemampuan perangkat hukum untuk mengusutnya.
b. Ketika kejahatan ditutupi oleh simulacra of crime yaitu ketika kejahatan begitu rapih direncanakan, diorganisir, dikontrol sehingga ia melampaui jangkauan perangkat hukum, seolah-olah tidak ada barang bukti, tidak ada pelaku, tidak ada korban.
c. Ketika kejahatan kekerasan berlangsung dengan tingkat ketidakterlihatan (invisibility) yang sangat tinggi.
Kejahatan dalam versi reformasi saat ini, penulis melihatnya dari cara pandang terhadap kejahatan melalui proses interaksi atau komunikasi tanda dan simbol-simbol tertentu. Cara pandang ini diyakini mampu mengungkap makna kejahatan hingga ke akar-akarnya, yaitu makna tersembunyi di balik kejahatan (the hidden of crime). Kejahatan dalam hal ini, tidak memandang kejahatan hanya sebagai makna formal atau sudut pandang resmi tentang kejahatan, tetapi melihat hakikat kejahatan di balik kekuasaan. Kejahatan harus diakui merupakan makna simbolik daripada sekedar makna formalistik. Oleh karena itu klain formal dari pemikir klasik dan positivistik sudah sepatutnya ditinggalkan. Kejahatan dalam bentuk yang sempurna, dirinya terwujud menjadi simulakra kejahatan adalah kejahatan yang dengan sengaja diciptakan atau direkayasa oleh para pihak tertentu, yang lewat teknologi pencitraan (imagology) dan teknik narasi (narrative), dan direpresentasikan lewat media tertentu sehingga realitas kejahatan dan kebenaran (truth) di baliknya, seakan-akan seperti yang tampil di dalam media tersebut. Padahal representasi tersebut adalah hasil dari manipulasi media semata.
C. Kitsch dalam Korupsi: Suatu Uraian Reformasi terhadap
Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang berarti kerasukan atau kebobrokan; perbuatan yang bejat; perbuatan tidak jujur; dapat disuap; tidak bermoral; menyimpang dari kesucian; serta kata-kata yang menghina atau yang memfitnah. Istilah korupsi sejak zaman Yunani-Kuno lebih menitikberatkan pada akibat yang terjadi, sedangkan setelah Lord Action menghubungkan istilah korupsi dengan kekuasaan, istilah korupsi tersebut lebih menitikberatkan pada sebab yang terjadi. Ucapannya yang terkenal, The power tends to coruupt; absolutely power corrupts absolutely, bahwa kekuasaan itu cenderung menuju korupsi, kekuasaan mutlak mengakibatkan korupsi mutlak pula. Dari uraian di atas ada dua pergeseran makna. Pertama, korupsi dikatakan dengan kekuasaan, dan kedua korupsi dikaitkan dengan hal yang dilukiskan. Kaitannya antara korupsi dengan kekuasaan, itulah yang sekarang menjadi inti definisi tentang korupsi baik yang dipahami dalam masyarakat Indonesia, maupun masyarakat Internasional.
Dalam Undang-undang tindak pidana korupsi, terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keunaganb negara atau perekonomian negara (sesuai pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999).
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum baik dalam arti formil maupun materiil. Meskipun, perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, apabila peraturan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan tersebut dipidana sesuai pasal 2 ayat 1.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa korupsi kekuasaan itu amat diduga terjadi setiap hari berdampingan dengan korupsi konvensional, tetapi tanpa terdeteksi, apalagi mengangkatnya ke dalam undang-undang. Lebih menakutkan lagi apabila kita berpikir betapa korupsi kekuasaan itu menjadi voorklas (taman kanak-kanak) dari korupsi konvensional. Korupsi kekuasaan ini tidak hanya berkonotasi keuangan. Akan tetapi korupsi ini terjadi dalam bentuk dan tingkat perusakan pada tingkat paling sederhana. Orang mungkin tidak sadar jika dirinya dipermainkan oleh seorang pejabat publik hanya untuk urusan secarik kertas, bahwa perbuatan itu adalah korupsi. Oleh karena itu, korupsi sudah menjadi kondisi yang bersifat endemik dan sistematik di negara Indonesia ini. Benar apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa apa yang dinamakan dengan korupsi itu adalah salah satu bentuk penghianatan paling kejam, tercela terhadap bangsa, sebab korupsi merupakan penghianatan terhadap kejujuran dasar yang diperlukan semua orang saat hidup bersama dengan orang lain di sekitarnya.
B.2 Korupsi Dana Non-Budjeter Bulog: Bentuk Simulasi
Kejahatan dalam Ruang Realitas yang Terbahasakan
Bentuk kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat negara pada reformasi, mengundang perhatian masyarakat banyak, adalah kejahatan korupsi dana Non-Budjeter. Kasus ini bermula dari pernyataan Mahfud MD yang menyatakan
“…… Bahwa Akbar Tanjung telah menerima kucuran dana dari bulog sebesar 90-Miliar sebelum pemilu tahun 1999, sewaktu dia mengisi acara seminar yang diadakan mahasiswa di Kediri. Mahfud MD juga mengungkapkan bahwa informasi ini sebenarnya berasal dari Menteri Koordinator Perekonomian atau kepala Bulog (Rizal Ramli) ketika sidang kabinet pada tanggal 1 Februari 2000, katanya dana tersebut diberikan kepada partai Golkar dan sampai sekarang tidak ada pertanggungjawabannya……”
Dari hasil keterangan dalam persidangan Rahadi Ramelan atas dana Non-Budjeter sebesar 5,4 Miliar, diketahui bahwa kasus Bullogate II berawal pada rapat kabinet terbatas (Rakortas) setelah rapat umum kabinet di Istana Negara yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie pada tanggal 10 Februari 1999. Sidang ini pada intinya membahas tentang rencana untuk menambah kekurangan sembako di beberapa daerah untuk mengatasi rawan pangan. Pada tanggal 15 Februari 1999, terdakwa H. Dadang Sukandar selaku Ketua Yayasan Islam Raudatul Jannah, mengajukan surat permohonan pengadaan dan penyaluran sembako kepada Haryono Suryono selaku Menteri Koordinator Kesra dan Taskin dengan surat Nomor 03/DD. YRJ/III/1999 tanggal 15 Februari, agar ia ditunjuk sebagai rekan melaksanakan pembelian dan pembagian sembako kepada masyarakat miskin. Haryono Suryono memberi disposisi (catatan) yang ditujukan kepada Akbar Tanjun sesuai petunjuk Bapak Presiden, tolong pertimbangkan sesuai syarat dan peraturan yang berlaku.
B. 3 Kondisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Tindak pidana korupsi pada tingkat tertentu, akan selalu dihadapi, disadari atau tidak bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya mengancam pada stabilitas politik, ataupun perekonomian suatu bangsa saja, tetapi tindak pidana korupsi dapat menjadi zombi ganas yang akan selalu menghisap setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan menghambat proses pembangunan bangsa. Disamping itu, tindak pidana korupsi akan membentuk kondisi kemiskinan yang semakin parah, yang mengancam jutaan orang di seluruh negara. Sehingga jika tetap dibiarkan menjangkit maka tindak pidana korupsi akan menciptakan suatu pemerintahan yang irasional, yang didorong oleh keserakahan individu atau kelompok, bukan oleh tekad memenuhi kebutuhan rakyat.
Berbicara masalah penyelesaian tindak pidana korupsi, tidak terlepas dari peran dan fungsi pilar-pilar kelembagaan negara, misalnya: Legislatif terpilih, peran Eksekutif, sistem peradilan yang independen, masyarakat sipil dan sektor perusahan swasta, yang dalam hal ini objek bahasan kita menitikberatkan pada organisasi Anti-korupsi yang independen, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan sektor perusahaan swasta yaitu perbankan yang sejauh ini memiliki mekanisme dan prosedural yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Korupsi bukan lagi serangkaian huruf, akan tetapi telah melampui tanda-tanda huruf itu sendiri. Meminjam istilah Jean Baudrillard dan Umberto Eco kondisi seperti itu ada dalam kondisi hyper-reality adalah sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri telah dilampaui, dalam pengertian telah diambil alih oleh substitusi-substitusinya, yang diciptakan secara artificial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir, yang menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut yang nyata (the real), kondisi korupsi adalah berada di atas hipper realitas tertinggi. Pada tahap ini realitas tidak lagi tampak, akan tetapi lebih pada penampakannya (appearance) karena itu korupsi tidak lagi didasarkan pada realitas atau kehadiran dari apa yang nyata.
Fenomena selanjutnya yang ada dalam masyarakat Indonesia, mengisyaratkan bahwa persoalan korupsi sudah bersifat endemik, ia bekerja secara sistematik menggerogoti birokrasi kekuasaan dan kehancuran kepercayaan publik kepada pemerintah di negara kita ini. Dengan kata lain, korupsi merupakan kasus yang amat terencana, rapi dan sering dilakukan oleh orang-orang terpelajar, seperti oleh kepala pemerintah daerah, anggota DPRD, orang-orang ahli hukum, yang bergelar profesor dan doktor serta orang-orang yang menduduki jabatan di berbagai sektor.
B.4 Semangat Pemberantasan Korupsi di Era Reformasi
Begitu kerasnya perangkat hukum tentang pemberantasan korupsi sehingga UU Nomor 31 tahun 1999, mencantumkan dalam salah satu pasalnya (pasal 2 ayat 2) bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan keadaan tertentu pidana mati dapat dijalankan. Tampak dengan jelas bahwa dilihat dari segi materi hukum (substansi), pemberantasan korupsi sudah semakin menunjukkan semangatnya, namun itu semua hanya tertuang dalam untaian kata UU saja, realitasnya tidak mencerminkan seperti demikian.
Realitas pemberantasan korupsi di negeri kita (Indonesia) menunjukkan betapa lemahnya hukum dalam menjerat para koruptor. Tidak bisa dipungkiri lagi, banyaknya kasus korupsi yang divonis bebas, maupun ringan dapat terjadi karena rendahnya kualitas dan minimnya moral dari para aparatur hukum, bahkan ada indikasi untuk menentukan berat ringannya hukuman dalam kasus korupsi. Ada sebuah tawaran yang penulis ajukan dalam semangat era reformasi hukum ini. Intinya pemberantasan korupsi sebaiknya tidak melulu menggunakan metode legalistik belaka karena dengan paham seperti ini hukum dilihat hanya sebagai mesin yang terlalu mekanistik, bahkan hukum akan lebih jauh dari habitatnya. Tawaran ini tidak lain adalah penggunaan metode hermeneutika dalam pemberantasan korupsi. Hermeneutika hukum di pengadilan berguna seperti di bawah ini:
1. Menambah orisinalitas dari makna hukum sesungguhnya karena pekerjaan manusia penuh dengan pilihan-pilihan dan demikian juga dengan subjektifitas. Dari situ kita akan mengatakan penafsiran (interpretasi) itu berbeda dengan melakukan submisi terhadap mesin. Penafsiran secara hermeneutika harus merupakan pekerjaan yang kreatif, inovatif, progresif, dan bahkan terkadang merupakan lompatan paradigmatik. Dengan memasukkan makna listrik sebagai barang adalah merupakan pekerjaan yang cukup kreatif.
2. Mengungkapkan pengalaman yang terjadi selama persidangan berlangsung. Dalam hermeneutika, peristiwa hukum, maupun aturan hukum tidak hanya dilihat dari aspek legalitas formal semata-mata. Akan tetapi, hermeunitika melihat dari faktor yang melatarbelakangi peristiwa itu terjadi, sengketa itu muncul, apakah masalahnya ada hubungan dengan intervensi politik yang membidanginya sehingga keluarlah putusan hakim.
Semangat reformasi dalam bentuk berpikir luar biasa; lupakan hukum lihat nuraninya; pemeberantasan korupsi memerlukan Exemplars. Gunakan makna (meaning) yang terdalam, pakailah cara-cara spritual kita. Sekumpulan cara-cara ini adalah suatu model pemberantasan korupsi menggunakan hermeneutika. Ada pengorganisasian dari pemikiran kita untuk memberantas korupsi secara logis, taat asas, ikuti aturan. Model inilah kita kenal dengan model positivistik atau pemberantasannya menggunakan IQ (intelligence Quotient). Dalam jenis pemikiran yang lain pemberantasan korupsi akan cenderung untuk berpikir asosiatif, yang terbentuk oleh kebiasaan dari cara-cara formal, serta memampukan pola-pola emosi yang disebut EQ (Emotional Quotient). Pemberantasan korupsi dengan menggunakan model hermeneutika, kita temukan dalam bentuk kecerdasan SQ (Spiritual Quotient).
Akhirnya penulis mencoba merangkum yang pertama, penulis menelaah bagaimana analisis wacana terhadap makna (meaning) korupsi karena selama ini korupsi mengalami reduksionisme makna. Kedua, penulis menawarkan sebuah pendekatan Hermeneutika; sebagai proposisi (pernyataan) untuk memulihkan manusia yang korupsi karena krisis makna dalam korupsi itu akan pulih, jika diterapkan model hermeneutika untuk ilmu kemanusiaan. Ketiga, untuk memulihkan masyarakat, diri serta korupsi, kita memerlukan sebuah suri tauladan yang baik dari para aparat penegakan hukum

2 komentar:

natayogi mengatakan...

terimakasih postingannya bermanfaat bgt..

Mekar Sinurat mengatakan...

oke bung<
tks juga sudah mampir...

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor