Pages

Kamis, 15 Desember 2011

REFELEKSI NATAL 2011 GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA

Oleh; Jhony Rahmat (Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI)

Salam Sejahtera untuk civitas GMKI se-tanah air…!!!!

Dalam mengakhiri Tahun 2011 di Bulan Desember ini, sebagai refleksi Natal kita bersama, maka kami mempunyai beberapa catatan tersendiri menyangkut masalah-masalah yang terjadi secara terus-menerus dalam konteks berbangsa dan bernegara maupun secara internal Gereja yang terjadi baik itu dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan ham, yang tak tahu kapan akan berakhir. Yang kami maksudkan dengan persoalan tersebut, tentunya bukanlah sebuah “argumentasi konyol” tanpa disertai dengan sejumlah bukti dan fakta empirik untuk dijadikan sebagai bahan kajian dan refleksi bersama kita di penghujung tahun 2011 ini, melainkan hal ini menyangkut dengan sebuah fakta empirik terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan yang harus tetap diperjuangkan dan dijaga dari setiap kita yang pro dengan eksistensi perjuangan pembebasan manusia dari eksploitasi manusia.

Jika dilihat secara seksama dibidang ekonomi kita menemukan, korupsi di negeri ini menunjukkan tendensi makin sistemik. Artinya, korupsi bukan lagi dilakukan oleh satu-dua orang, tapi oleh banyak orang secara bersama. Misalnya; Kasus Gayus, Bank Century, Wisma Atlet Menpora, Menakertrans, dan masih banyak kasus lain lagi yang membuktikan itu. Korupsi jenis ini tentu jauh lebih berbahaya dan lebih banyak merugikan keuangan Negara yang berdampak pada kesengsaraan rakyat secara menyeluruh. Tapi yang jauh lebih berbahaya lagi adalah ketika korupsi dilakukan oleh negera itu sendiri melalui utak-utaik kebijakan dan peraturan–peraturan. Inilah yang disebut state corruption (korupsi negara). Salah satu contoh yang dapat dilihat misalnya, skandal Bank Century yang diduga telah merugikan negara hingga triliunan rupiah. Segala usaha pemberantasan korupsi, menjadi tak banyak artinya karena yang dihadapi adalah para pejabat negara itu sendiri.

Disisi lain kita melihat bahwa sebagian besar produk Undang-Undang dibidang Ekonomi dan Sumber daya Alam bahkan social budaya dan politik yang dibuat oleh para Wakil Rakyat di Senayan (DPR-RI) yang tidak berpihak kepada kepentingan Rakyat sebagai pemilik sah dari Republik ini, melainkan kecenderungannya lebih berorientasi pada kepentingan asing (lebih-lebih Undang-Undang di bidang ESDM). Hal ini dapat dibuktikan dengan di judicial reviuw-nya beberapa Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) setelah mendapat gugatan dari pihak-pihak (rakyat) yang merasa dirugikan.

Kebijakan itu tentu akan membuat perusahaan asing leluasa bermain di sektor hulu dan hilir (penjualan). SPBU-SPBU, Perusahan Emas, Minyak dan Gas Bumi yang akan mengeruk keuntungan besar bagi pihak asing. Ini tentu sebuah ironi besar, bagaimana mungkin rakyat membeli barang milik mereka di halaman rumahnya sendiri kepada orang asing dengan harga uang ditentukan oleh mereka? Kebijakan ekonomi yang makin liberal itu tentu akan semakin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Akibatnya, sebagian diantara mereka pun mencari kerja ke luar negeri, tapi bukan uang yang didapat, malah penderitaan dan penyiksaan seperti yang menimpa sejumlah TKW kita di negeri orang lain.

Dilain pihak kita melihat dalam penegakan hak asasi manusia atau HAM, bahwa pemerintah dan DPR belum sepenuhnya menjalankan fungsi, peran, dan tanggung jawabnya secara maksimal. Hal itu terutama menyangkut kepentingan korban penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM. Padahal, pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa yang tidak bisa diselesaikan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana biasa.

Sejumlah kasus yang mengindikasikan pengabaian penegakan hukum di bidang HAM, antara lain terabaikannya hak asasi korban misalnya kasus soal GKI Yasmin, Kasus soal penutupan Gereja di Pekanbaru, Kasus Jemaah Ahmadiyah, Kasus Kekerasan dan Pembunuhan di Papua, kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo dan kasus-kasus lainnya di bidang sosial dan ekonomi yang tidak dapat diselesaikan secara baik hingga kini.

Semua itu menunjukkan, pola kebijakan penegakan HAM pada pemerintahan saat ini kurang memberikan perlindungan terhadap para korban. Bahkan, komitmen untuk menegakkan perlindungan HAM masih sangat lemah dan tak berdaya.

Disamping persoalan-persoalan menyangkut dengan penyelenggaraan pemerintahan yang tak kunjung tuntas diatas, kita kemudian dikejutkan dengan musibah kemanusiaan yang terjadi dimana-mana tempat. Jatuhnya Pesawat, tanah longsor diberbagai tempat, musibah banjir yang terjadi dimana-mana, bahkan runtuhnya jembatan di Sungai Mahakam beberapa waktu lalu yang menelan korban yang tidak sedikit. Alam-pun tak lagi bersahabat dengan kita. Kita kemudian bertanya, salah siapakah ini..? Apakah ini merupakan dosa dari setiap pribadi rakyat Indonesia, ataukah dosa pemimpin yang kemudian dilimpahkan kepada seluruh rakyat yang tak ber-dosa..? Akumulasi dari persoalan-persoalan tersebut kemudian kita melihat begitu banyak munculnya “interupsi” yang dilakukan warga Negara terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara, yang salah satunya kita kenal dengan tragedy “pembakaran diri” dari seorang aktivis Mahasiswa sdr. Sondang Hutagalung di depan Istana Negara pada beberapa waktu lalu.

Terhadap semua persoalan diatas maka yang menjadi pertanyaan substansial untuk kita gumuli dan hendak di jawab secara bersama adalah, dimanakah motivasi provetis Gereja (termasuk GMKI) yang telah di amanatkan Tuhan kepada-nya untuk diaktualisasikan (melalui Tri Panggilan-nya) dalam menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan diatas..?

Dalam menjawab pertanyaan diatas maka dalam kapasitas kita sebagai Gereja (baik lembaga maupun manusianya), maka tidak bisa tidak, kita harus menggunakan Alkitab sebagai “filter dan norma tertinggi” ke-Kristenan kita dalam menuntun langkah dan melihat pergumulan ini secara bijaksana. Dalam perspektif berpikir yang seperti itulah maka kita akan menemukan amanat Allah didalam Yesus Kristus melalui Alkitab yang kita kenal disaat ini bahwa; Gereja tidak bisa tinggal diam dalam menyikapi berbagai fenomena tersebut.

Allah yang kita kenal di dalam diri Yesus Kristus bukanlah sekedar “pengamat netral yang independen” di Surga yang duduk manis dan diam dalam mengamati situasi manusia di bumi, melainkan Ia adalah partisan, Ia turun langsung melalui diri Yesus Kristus dan “berpihak” kepada mereka yang “lemah dan tertindas” oleh sebuah kebijakan penguasa Romawi dan Ahli-Ahli Taurat diwaktu itu yang tidak populis yang membelenggu mereka. Dengan dasar itulah maka Gereja masa kini (dan GMKI) harus Pro-aktif menyampaikan suara kenabian-nya, bila perlu mengarahkan Bangsa ini agar pemimpinnya berhikmat, berjalan pada jalan kebenaran ditengah-tengah jalan keadilan. Dihari ini kita melihat bahwa “tangan Gereja” hampir tidak kurang panjang untuk menjangkau mereka yang mengalami masalah-masalah tersebut, kalaupun itu ada, temporer dan sporadis sifatnya, tidak melalui pendekatan analisis yang objektif dan tepat serta berlangsung secara kontinyu.

Tentunya tesis ini hampir dibenarkan, sebab kita dapat secara langsung melihat bahwa yang intens menyampaikan seruan dan teguran-teguran nyata ketika pelanggaran-pelanggaran itu terjadi ditengah-tengah masyarakat, bukan lagi Gereja melainkan lembaga-lembaga lain. Sebut saja ketika pelanggaran HAM terjadi dimana-mana, maka Komnas HAM-lah yang paling intens menyerukan hal tersebut. Ketika Korupsi merajalela dimana-mana, maka Indonesian Coruption Wotch (ICW) yang gencar melakukan itu. Ketika Lingkungan yang merasa terancam, maka WALHI-lah yang paling intens menyerukan untuk menghentikan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan, dan masih banyak contoh-contoh lain yang dapat kita temukan disekitar kita.

“Hari ini telah lahir bagimu Juru-Selamat yaitu Kristus Tuhan di kota Daud”. Kehadiran-Nya yang kita rayakan disaat ini merupakan tanda pembebasan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta, Kehadiran-Nya yang kita rayakan disaat ini merupakan tanda pembebasan bagi mereka yang buta dapat melihat, bagi mereka yang tuli dapat mendengar, bagi yang lumpuh dapat berjalan, bagi yang lapar dan haus diberi makan dan minum, bahkan kepada mereka yang ”mati” dapat dibangkitkan. Kehadiran-Nya kiranya membawa dampak positif agar kita sebagai civitas Gerakan di seluruh tanah-air selalu giat melakukan upaya “pembebasan” kepada umat manusia yang tertindas oleh sebuah kebijakan penguasa yang tidak populis.

Sebagai civitas Gerakan di tanah-air tentunya kita menyambut baik kehadiran Sang Kepala Gerakan kita disaat ini. Ia rela meninggalkan status ke-Ilahian-Nya dan mau menjadi hamba yang mau melayani, kiranya ini meng-inspirasi kita dalam memaknai pelayanan di Gerakan tercinta ini dari waktu-kewaktu.

“SELAMAT HARI NATAL 25 DESEMBER 2011 DAN TAHUN BARU 01 JANUARI 2012”

Tuhan Yesus Memberkati kita Semua…, Tinggilah Iman kita, Tinggilah Ilmu kita, dan Tinggilah Pengabdian Kita.., Ut Omnes Unum Sint.., Syalom….!!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar