Pages

Senin, 26 September 2011

PRIVATISASI INDOSAT

I. Latar Belakang
Penanaman modal atau investasi dalam suatu perekonomian sangat diperlukan, baik untuk menunjang pertumbuhan ekonomi maupun perluasan tenaga kerja. Oleh karena itu upaya untuk menarik investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia secara intensif sudah dilakukan oleh pemerintah. Agar pelaku ekonomi merasa aman dan tentram dalam melakukan aktivitasnya maka perlu stabilitas ekonomi didalam negeri, maka mempertahankan stabilitas ekonomi merupakan salah satu prasarat untuk membangun dan menggerakkan roda perekonomian.



Para pendiri bangsa telah menyadari sejak awal bahwa Indonesia sebagai kolektivitas politik tidak memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, sehingga ditampung dalam pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 2 yang menyatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, Secara eksplisit ayat ini menyatakan bahwa Negara akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi. Selama pasal 33 UUD 1945 masih tercantum dalam konsitusi maka selama itu pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan.
Untuk itu pembinaan usaha diarahkan untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan. Paling tidak terdapat 3 visi yang saling terkait yaitu visi dari founding fathers yang terdapat dalam UUD, visi dari badan pengelola BUMN dan visi masing-masing perusahaan BUMN. Visi ini juga harus diterjemahkan dalam ukuran yang jelas sebagai pegangan untuk pembinaan. Visi UUD mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pengelolaannya diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Visi ini harus diterjemahkan dalam ukuran yang lebih rinci dan kemudian dilakukan identifikasi jenis usaha yang masih perlu dikelola oleh negara, sehingga dapat menghasilkan jenis BUMN yang masuk kategori public service obligation atau PSO.
Salah satu alternatif untuk menciptakan efisiensi dan menumbuhkan daya saing perusahaan adalah dengan melakukan penjualan sebagian kepemilikan atau pengalihan kendali perusahaan kepada pihak swasta melalui privatisasi. Salah satu manfaat nyata yang bisa dihasilkan dari privatisasi adalah terlaksananya prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance).
Pemerintah Indonesia telah melakukan penjualan 42 persen saham Indosat kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia) pada Desember 2002. Penjualan saham Indosat ini menimbulkan kontroversi di Indonesia karena perusahaan ini merupakan salah satu bentuk industri yang cukup strategis bagi investor asing.
II. Identifikasi Masalah.
1. Bagaimana hubungan privatisasi BUMN (Indosat) terhadap aset kekayaan Negara?
2. Apakah peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dihubungkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal terkait Privatisasi Indosat?
PEMBAHASAN
1. Pengertian Privatisasi
Privatisasi merupakan kebijakan publik yang mengarahkan bahwa tidak ada alternatif lain selain pasar yang dapat mengendalikan ekonomi secara efisien, serta menyadari bahwa sebagian besar kegiatan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini seharusnya diserahkan kepada sektor swasta.
Menurut UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Sejak mulai dikenal pada awal tahun 1960-an, privatisasi terkesan sebagai program yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah suatu negara yang hendak menata ulang perekonomiannya. Terkait dengan peran pemerintah di dalam perusahaan negara, Savas (Privatization, The Key to Better Government,1987) memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya dalam aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Butler (1991), yaitu bahwa privatisasi adalah pergantian fungsi dari sektor publik menuju sector swasta, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebenarnya asumsi dasar penyerahan pengelolaan pelayanan publik kepada sektor swasta adalah peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya. Privatisasi akan mengembalikan mekanisme pasar, sehingga memungkinkan terjadinya efisiensi ekonomi.
Pada pasar persaingan monopolistik terdapat banyak penjual dan pembeli serta berbagai jenis produk. Para pemain pun dapat bebas keluar dan masuk ke dalam industri. Namun setiap perusahaan memiliki merk pada produknya masing-masing sehingga perusahaan yang merk dagangnya sudah kuat akan dapat menguasai pasar.
Privatisasi merupakan suatu cara agar dapat meningkatkan persaingan dan menurunkan biaya, mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien, dan mencegah terjadinya monopoli. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memperbaiki atau mengganti kerugian atas kegagalan pasar yang disebabkab oleh eksternalitas yang negatif.
Berbagai jenis barang, yaitu public goods, merit goods, dan demerit goods, jika beredar dalam jumlah yang tepat atau bahkan tidak beredar sama sekali akan menyebabkan sistem pasar tidak efisien sehingga terjadi kegagalan pasar. Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
Motivasi penjualan perusahaan Negara atau perusahaan Negara yang dikontrakkan dengan pihak swasta, adalah peningkatan efisiensi sektor publik, selayaknya kinerja efisiensi sektor swasta, kemungkinan laba, insentif yang lebih tinggi, efisien, dan berorientasi kepada konsumen.
2. Tujuan Privatisasi
Tujuan dari privatisasi ini adalah :
• Privatisasi akan membentuk pihak yang menang dan kalah dalam proses kepemilikan. Diharapkan dengan privatisasi, focus pengendalian biaya dapat dilakukan dengan lebih tajam dan sistematis.
• Privatisasi meningkatkan tanggung jawab lingkungan, keselamatan pekerja, dan kualitas pelayanan yang diproduksi.
Bank Dunia dalam rekomendasinya kepada pemerintah Indonesia menyatakan, tujuan privatisasi adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan efisiensi dan investasi di bawah pengelolan manajemen swasta;
2. Meningkatkan pendapatan BUMN yang diprivatisasi sebagai perubahan peran pemerintah dari pemilik badan usaha menjadi regulator;
3. Mendorong sektor swasta untuk lebih berkembang dan meluaskan usahanya pada pelayanan publik; dan
4. Untuk mempromosikan pengembangan pasar modal nasional.
Paket departemen keuangan Inggris tentang privatisasi yang diterbitkan pada 1986, menyatakan bahwa program privatisasi memiliki dua tujuan utama:
1. Untuk mempromosikan “kompetisi” dan peningkatan “efisiensi,” sinerji antar-perusahaan harus dilakukan. Spirit “kompetisi” merupakan cara terbaik untuk meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat disediakan pada biaya ekonomi terendah;
2. Program privatisasi sering digunakan untuk mempromosikan kepemilikan saham secara lebih luas kepada para pekerja dan masyarakat.
Berdasarkan ulasannya terhadap pelaksanaan privatisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Thatcher di Inggris, Safri Nugraha, dalam disertasi doktoralnya memaparkan tujuh tujuan privatisasi:
1. Mengurangi pengaruh pemerintah dalam industri;
2. Meningkatkan efisiensi baik pada perusahaan-perusahaan swasta maupun pada sektor publik;
3. Mengurangi Public Sector Borrowing Requirement (PSBR);
4. Mengurangi masalah-masalah di sektor publik menyangkut tawar-menawar soal upah melalui pelemahan serikat pekerja;
5. Memperluas pembagian kepemilikan;
6. Mendorong pembagian kepemilikan pekerja;
7. Untuk memperoleh keuntungan politik.
Kembali mengutip William L. Megginson, tujuan dilaksanakannya privatisasi ada lima:
1. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah;
2. Mendorong efisiensi ekonomi;
3. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian;
4. Memberikan kesempatan untuk mengenalkan persaingan; dan
5. Mengembangkan pasar modal negara.
3. Metode dan Prosedur Privatisasi
Privatisasi BUMN dapat dilaksanakan dengan memilih strategi yang paling cocok, sesuai dengan tujuan privatisasi, jenis BUMN, kondisi BUMN, serta situasi sosial politik dari suatu negara. Beberapa strategi yang dapat dipilih, antara lain public offering, private sale, new private investment, saleof assets, fragmentaion, managemen / employee buy out, kontrak manajemen, kontrak/sewa aset, atau likuidasi.
1. Public Offering
Pada strategi public offering, pemerintah menjual kepada publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik melalui pasar modal. Umumnya, pemerintah hanya menjual sebagian dari saham yang dimiliki atas BUMN tersebut. Strategi ini akan menghasilkan suatu perusahaan yang dimiliki bersama antara pemerintah dan swasta. Proporsi kepemilikan pemerintah atas BUMN ini akan menurun. Public offering ini cocok untuk memprivatisasi BUMN yang cukup besar, memiliki potensi keuntungan yang memadai dalam waktu dekat dapat direalisasi. BUMN harus bisa memberikan informasi lengkap tentang keuangan, manajemen, dan informasi lainnya, yang diperlukan masyarakat sebagai calon investor. Public offering ini akan dapat terealisasi apabila telah tersedia pasar modal, atau suatu badan formal yang dibentuk dalam rangka menginformasikan, menarik, dan menjaring publik. Di samping itu harus cukup tersedia likuiditas di pasar modal tersebut. Metode public offering telah dipilih dalam rangka privatisasi beberapa BUMN di Indonesia, antara lain PT. Semen Gresik, PT. Indosat, PT. Timah, PT. Telkom, PT. Aneka Tambang, dan Bank BNI.
2. Private Sale
Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau sekelompok investor tertentu. Calon investor pada umumnya sudah diidentifikasi terlebih dulu, sehingga pemerintah dapat memilih investor mana yang paling cocok untuk dijadikan partner usahanya. Strategi private sale ini fleksibel, tidak harus melalui pasar modal. Cocok untuk privatisasi BUMN yang memiliki kinerja rendah, yang belum layak untuk melakukan public offering. BUMN ini memerlukan investor yang memiliki usaha di bidang industri yang sama, memiliki posisi keuangan yang kuat, dan memiliki kinerja dan teknologi yang baik. Strategi ini juga cocok untuk negara-negara yang belum memiliki pasar modal, atau belum memiliki badan formal yang mampu menjaring investor publik. Metode private sale telah dipakai oleh Bangladesh untuk memprivatisasi lebih dari 30 pabrik tekstil yang dimiliki oleh pemerintah.
3. New Private Investment
New private investment dapat ditempuh oleh pemerintah apabila pemerintah atau BUMN menghadapi keterbatasan untuk mengembangkan usaha BUMN tersebut. Dalam hal ini, pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas BUMN, tetapi mengundang investor untuk menyertakan modal, sehingga modal BUMN akan bertambah. Penambahan modal tersebut sepenuhnya masuk ke BUMN, dan tidak ada dana yang diterima oleh pemerintah secara langsung. Kebijakan ini akan menyebabkan proporsi kepemilikan saham pemerintah atas BUMN tersebut menjadi berkurang. New private investment cocok untuk mengembangkan BUMN, namun BUMN mengalami kekurangan dana, misalnya dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi atau menyediakan infrastruktur dalam rangka peningkatan produksi. Jadi, sasaran utamanya bukan untuk menjual BUMN. Metode ini telah diimplementasikan oleh pemerintah Gambia untuk memprivatisasi Senegambia Hotel, dan pemerintah Zambia untuk memprivatisasi Zambia Breweries.
4. Sale of Assets
Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas saham BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN secara langsung kepada pihak swasta. Alternatif lain, pemerintah tidak menjual aset BUMN secara langsung, tetapi menggunakannya sebagai kontribusi pemerintah dalam pembentukan perusahaan baru, bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam memilih mitra usaha, tentunya pemerintah akan memilih pihak-pihak yang telah dikenal sebelumnya. Kebijakan penjualan aset ini lebih fleksibel dan lebih mudah dilaksanakan, dibandingkan menjual perusahaan secara keseluruhan. Kebiajakan ini cocok untuk dilaksanakan apabila menjual perusahaan secara keseluruhan merupakan target yang sulit dicapai. Pemerintah dapat menjual seluruh aset yang dimiliki BUMN, write off semua utang, dan melikuidasi BUMN tersebut. Metode sale of assets ini dipakai oleh pemerintah Australia pada waktu memprivatisasi Bellconen Mall, pemerintah Togo pada waktu memprivatisasi Sodeto, serta pemerintah Gabon pada waktu memprivatisasi Societe de Bois Piza.
5. Fragmentation
Dalam strategi fragmentation, BUMN direorganisasi atau dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan, atau dibuat suatu holding company dengan beberapa anak perusahaan. Salah satu atau beberapa anak cabang kemudian dijual kepada pihak swasta. Kebijakan ini akan menghasilkan beberapa pemilik baru atas satu BUMN, sehingga diharapkan dapat menciptakan suasana bisnis yang lebih kompetitif. Strategi ini cocok untuk menjual BUMN yang besar, dengan harga yang mahal. Karena mahalnya, biasanya tidak banyak calon investor yan tertarik untuk membeli. Dengan dipecah-pecah, harganya menjadi lebih murah, dan alternatif untuk seorang investor menjadi lebih banyak. Ia dapat memilih bagian mana yang paling menarik untuk dibeli. Suatu BUMN yang besar dapat menjadi perusahaan monopoli. Dengan dipecah-pecah, BUMN bisa menjadi beberapa perusahaan yang saling bersinergi, dan dapat menimbulkan suatu persaingan yang sehat. Indonesia telah menerapkan metode fragmentaion pada saat memprivatisasi PT. Krakatau Steel. Metode ini juga telah dipakai oleh pemerintah Singapura pada saat memprivatisasi Port of Singapore, dan pemerintah Malaysia pada saat memprivatisasi Port Kelong.
6. Management/Employee Buy Out
Pada strategi ini, Pemerintah mengalokasikan sejumlah saham untuk dibeli oleh para manajer dan karyawan BUMN, atau koperasi karyawan BUMN. Strategi ini cocok untuk transfer kepemilikan BUMN dari pemerintah kepada para manajer dan karyawan BUMN. Dengan memiliki saham, para manajer dan karyawan BUMN diharapkan akan bekerja lebih serius, sehingga kinerja BUMN akan meningkat. Strategi ini juga cocok untuk BUMN yang akan diprivatisasi, namun belum layak untuk melakukan publik offering karena kinerjanya yang kurang baik. Daripada BUMN dilikuidasi, maka strategi ini merupakan alternatif yang lebih baik. Strategi Managemen/employee buy out dipilih oleh pemerintah Iceland untuk memprivatisasi Icelandair. Pemerintah Inggris juga menerapkan metode yang sama untuk memprivatisasi National Bus Company dan British Ship Builder.
7. Kontrak manajemen
Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah mengundang perusahaan swasta untuk "mengelola" BUMN selama periode tertentu, dengan memberikan imbalan tertentu (dituangkan dalam kontrak kerjasama). Perusahaan tersebut harus bergerak dibidang yang sama, memiliki pengalaman yang cukup, memiliki teknologi dan sumber daya manusia yang lebih baik. Strategi kontrak manajemen dimaksudkan untuk (1) meningkatkan kinerja BUMN, melalui peningkatan efisiensi dan atau efektifitas penggunaan aset BUMN, (2) memperoleh keuntungan yang optimal, (3) transfer manajemen, budaya kerja, skill, dan teknologi. Tidak ada transfer kepemilikan dalam strategi ini. Privatisasi yang dilakukan hanya bersifat privatisasi pengelolaan, bukan privatisasi kepemilikan. Strategi kontrak manajemen dapat dipakai sebagai strategi antara sebelum privatisasi kepemimpinan dilaksanakan. Kontrak manajemen merupakan strategi yang baik apabila kondisi BUMN belum layak untuk dijual. Strategi ini dapat dipakai untuk meningkatkan kinerja BUMN, baik untuk BUMN yang memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, maupun BUMN yang akan diprivatisasi kepemilikannya. Pemerintah Malaysia menerapkan metode kontrak manajemen dalam rangka privatisasi North Kelong Bypass dan Labuan Water Supply. Pemerintah Srilanka menerapkan metode yang sama dalam rangka memprivatisasi Airlanka dan Sugar Corporation. Sementara itu, pemerintah Fiji juga menerapkan metode ini dalam rangka privatisasi Air Pacific.
8. Kontrak/sewa aset
Kontrak/sewa aset adalah strategi di mana pemerintah mengundang perusahaan swasta untuk menyewa aset atau fasilitas yang dimiliki BUMN selama periode tertentu. Pemerintah/BUMN dengan segera akan mendapatkan uang sewa dari perusahaan penyewa, tanpa melihat apakah perusahaan tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Perusahaan penyewa berkewajiban untuk memelihara aset atau fasilitas yang disewanya. Aset atau fasilitas yang disewa bisa termasuk SDM yang mengelola fasilitas atau aset tersebut. Strategi ini cocok untuk meningkatkan return on assets (ROA), sehingga aset BUMN bisa dimanfaatkan secara optimal. PT. Tambang Timah (Indonesia) telah menerapkan metode ini. Demikian pula Port Kelang dan National Park Facilities dari Malaysia, serta Port of Singapore dari Singapura. BUMN-BUMN tersebut telah menyewakan asset yang dimiliki dalam rangka meningkatkan ROA.
9. Likuidasi
Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan pemerintah terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih apabila BUMN tersebut adalah BUMN komersial, bukan BUMN public utilities atau memberikan public services, tetapi dalam kenyataannya tidak pernah mendapatkan keuntungan dan selalu menjadi beban negara.
10. Initial Public Offering (IPO)
Initial Public offering merupakan strategi privatisasi BUMN dengan cara menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada investor publik untuk yang pertama kalinya. Artinya, saham BUMN tersebut belum pernah dijual melalui pasar modal pada waktu sebelumnya. Metode IPO dapat menghasilkan dana segar dalam jumlah yang besar bagi pemerintah, tanpa harus kehilangan kendali atas BUMN tersebut. Investor publik pada umumnya membeli saham untuk tujuan investasi, dengan persentase kepemilikan yang relatif kecil. Pada umumnya mereka tidak bermaksud untuk ikut serta dalam kegiatan operasional perusahaan. Dengan demikian IPO ini cocok untuk dipilih apabila nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta cukup tersedia likuiditas dana di pasar modal.
11. Right Issue (RI)
Right Issue adalah strategi privatisasi BUMN dengan cara menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada publik, di mana BUMN tersebut telah melakukan penjualan saham melalui pasar modal pada waktu sebelumnya. Pada dasarnya metode Right Issue tidak jauh berbeda dengan metode Iniial Public Offering. Metode Right Issue tidak menyebabkan pemerintah, apabila masih menjadi pemegang saham mayoritas, kehilangan kendali atas BUMN yang diprivatisasi. Right issue cocok untuk dipilih apabila nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN pernah melakukan penawaran saham melalui IPO, memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta tersedia likuiditas dana di pasar modal.
12. Strategic Sale (SS)
Strategic Sale merupakan strategi privatisasi untuk menjual saham BUMN yang dikuasai pemerintah kepada investor tunggal, atau sekelompok investor tertentu. Beberapa metode yang termasuk dalam kelompok strategicsale, antara lain strategi pivae sale, new pivae investmen, managemen/employee buy out, dan frangmentation. Pada dasarnya, strategic sale dimaksudkan untuk mendatangkan dan melibatkan investor baru dalam pengelolaan BUMN. Disamping membawa dana segar, diharapkan investor baru juga membawa sesuatu yang strategis untuk meningkatkan kinerja BUMN, misalnya teknologi baru, budaya dan metode kerja yang efektif dan efisien, perluasan penguasaan pasar, dsb. Dengan demikian, pemilihan investor baru harus dilakukan dengan selektif, dikaitkan dengan permasalahan BUMN yang diprivatisasi. Strategic sale merupakan pilihan yang baik, apabila BUMN yang diprivatisasi memiliki kinerja yang kurang baik, atau memiliki kondisi keuangan yang kurang sehat. Strategi ini dapat dilaksanakan dalam tempo yang relatif lebih cepat, dengan biaya yang lebih kecil dibandingkan strategi penjualan saham kepada publik, sehingga cocok untuk diimplementasikan apabila waktu yang diperlukan untuk privatisasi sangat terbatas atau nilai saham yang diprivatisasi kecil. Strategic sale juga merupakan pilihan yang baik apabila likuiditas pasar modal kurang memadai.
13. Other Private Offering
Other private offering merupakan strategi privatisasi dengan target individual investor atau sekelompok investor tertentu, melalui strategi selain yang disebutkan dalam metode strategic sale. Beberapa metode yang dapat diterapkan dalam strategi ini antara lain metode sale of assets, management conract, sewa asset, dan likuidasi. Metode ini pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk menjual saham BUMN yang dikuasai oleh pemerintah, melainkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya BUMN yang dinilai masih di bawah standar.
4. Privatisasi Indosat
Serikat Pekerja PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Indosat) menolak tegas privatisasi Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT). Mereka menuding jika ditambah dengan privatisasi tahap pertama. Seluruh rangkaian privatisasi Indosat menyebabkan negara rugi lebih dari Rp1,8 triliun. Ketua Dewan Pimpinan Pusat SP Indosat Sukur Mulya Maldi menilai harga saham Indosat sebesar Rp 12.950 persaham yang dilepas kepada STT tidak mencerminkan nilai fundamenta perusahaan. Ia mengatakan nilai tersebut bahkan lebih rendah dibandingkan dengan nilai saham PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) yang dibeli Indosat pada triwulan III 2002 dari DeTe Asia sebesar US$ 350 juta atau Rp 3,15 triliun untuk 25 persen saham, atau setara dengan US$ 1,3 miliar untuk 100 persen saham. Padahal, kata dia, sejak pembelian tersebut Satelindo telah mengalami kemajuan pesat dari sisi teknologi dan jumlah pelanggan. Seharusnya, kata dia lagi, kontribusi Satelindo saja dalam penjualan ini bisa membuat saham Indosat berharga Rp 14 ribu persaham. “Kami melihat Menteri BUMN telah memberikan gratis seluruh bisnis dan lisensi Indosat selain Satelindo secara gratis kepada STT,” ujarnya. Selain Satelindo, Indosat juga memiliki bisnis sambungan internsional, perusahaan seluler Indosat Multi Media Mobile (IM3), perusahaan penyedia jasa internet Indosat Mega Media (IM2) dan lebih dari 20 anak perusahaanlainnya. Pada 15 Desember lalu pemerintah melepas 42 persen sahamnya di Indosat kepada STT senilai US$ 630 juta atau Rp 5,62 triliun. STT menyingkirkan saingan terdekatnya. Telekom Malaysia yang menawar Rp 12.500 persaham. SP Indosat juga mengkhawatirkan akan terjadinya monopoli di sektor telekomunikasi seluler, sebab selain memiliki Indosat yang membawahkan Satelindo dan IM3, induk perusahaan STT yaitu Temasek telah pula mengakuisisi 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) lewat anak perusahaan lainnya, Singapore Telecommunication (SingTel). Selain itu SP Indosat mempertanyakan pula sikap Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi yang tidak pernah memberitahukan kepada publik bahwa yang sebenarnya menjadi investor dan menandatangani shareholder agreement dengan pemerintah adalah Indonesia Communication Limited (ICL). ICL adalah sebuah entitas bisnis yang dibentuk STT dan berpusat di Mauritus. Padahal selama proses privatisasi sejak masuknya calon penawar, sampai diumumkannya daftar singkat empat calon penawar yang bisa melakukan uji tuntas, ICL belum masuk dalam daftar yang diumumkan ke publik dan tidak pernah memenuhi persyaratan dari tender privatisasi.
Dradjad H Wibowo mengatakan, manfaat privatisasi harus bisa dirasakan rakyat banyak. Seharusnya pemerintah melakukan moratorium terlebih dulu terhadap privatisasi BUMN sampai adanya UU Privatisasi. Akan sangat menguntungkan bila Indosat dijual ke dalam negeri dan bisa dipilah-pilah perusahaan mana yang bisa diprivatisasi. Menurut dia, privatisasi ini sangat kental nuansa kepentingan kelompok dan partisan. Seperti diketahui, pemerintah akhirnya menetapkan STT sebagai pemenang tender divestasi 41,94% saham PT Indosat, Tbk. STT mengalahkan satu saingan utamanya, yakni Telekom Malaysia yang maju hingga akhir final bid (penawaran akhir). STT menawar harga saham 434.250.000 (41,94%) saham seri B milik pemerintah itu seharga Rp 12.950 per saham atau total penjualan senilai Rp 5,62 triliun. Harga ini premium 50,6%. Telekom Malaysia hanya menawar Rp 12.650 per saham.
Melalui divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94% pada 15 Desember 2002 lalu, Temasek menjadi pemegang saham ganda atas perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Setidaknya secara tidak langsung melalui Singapore Technologies Telemedia (STT) yang 100% dimiliki oleh Temasek. Padahal, sejak 2002 sampai kini melalui Singapore Telecommunication Limited (Singtel)- yang 100% sahamnya dimiliki juga oleh Temasek- telah memiliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel yang juga merupakan anak perusahaan PT Telkom Tbk.
5. Hubungan Privatisasi Indosat terhadap Aset Kekayaan Negara
Selama masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menganut sistem berimbang (balanced budget), Sejak tahun anggaran (TA) 2000, kebijakan APBN menganut sistem defisit (deficit buidget) direncanakan defisit sebesar Rp44,1 trilyun atau 4,8% terhadap PDB. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Untuk menutup defisit anggaran tersebut pemerintah mengupayakan program financing melalui pembiayaan dalam negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri bersumber dari program privatisasi BUMN dan penjualan aset program retsrukturisasi perbankan, yang dalam TA 2000 masing-masing ditargetkan sebesar Rp6,5 trilyun dan Rp18,9 trilyun. Namun, realisasi kedua sumber financing dalam negeri ini (1 April s/d 31 Desember) hanya mencapai Rp18,9 trilyun, yang kesemuanya bersumber dari penjualan aset program restrukturisasi perbankan, sementara dari sumber privatisasi nihil. Sumber pembiayaan luar negeri (penarikan pinjaman luar negeri dikurangi pembayaran cicilan pokok utang luar negeri) ditargetkan sebesar Rp18,7 trilyun, akan tetapi realisasinya hanya mencapai Rp9,55 trilyun (51%). Dengan demikian, pada tahun anggaran 2000, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari privatisasi BUMN tidak mencapai target.
Pada APBN Tahun 2001, pemerintah merencanakan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan manargetkan anggaran defisit sebesar Rp52,5 triliun. Defisit anggaran 2001 dibiayai dengan tiga sumber pembiayaan, yang masih sama dengan tahun 2000, masing-masing melalui privatisasi BUMN sebesar Rp6,5 triliun, penjualan aset program restrukturisasi perbankan sebesar Rp27 trilyun dan pembiayaan luar negeri (neo) sebesar Rp19,0 triliun. Realisasi sampai dengan 31 Desember 2001 menunjukkan bahwa dari privatisasi BUMN sebesar Rp3,465 triliun, sementara dari penjualan aset program restrukturisasi perbankan dan pembiayaan luar negeri Rp29,58 triliun dan Rp20,77 triliun. Dengan demikian, pembiayaan dari penjualan aset-aset program restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri bisa melampau target APBN, akan tetapi pembiayaan yang bersumber dari program privatisasi BUMN tidak mencapai target. Dari perhitungan bisnis pun, menurut pengamat media Maria A. Sardino, divestasi Indosat merugikan negara triliunan rupiah. Menurut perhitungan Serikat Pekerja (SP) Indosat, saham Indosat dihargai Rp 12.950 per saham lebih rendah dibandingkan dengan nilai saham Satelindo (anak perusahaan Indosat). Pada triwulan III 2002 saham Satelindo yang diambil Indosat dari DeTe Asia sebesar US$ 350 juta untuk 25 persen saham Satelindo atau ekuivalen dengan US$ 1,3 miliar untuk 100 persen saham Satelindo.
Sejak transaksi pembelian 25 persen saham Satelindo dari DeTe Asia hingga 15 Desember 2002, Satelindo telah mengalami banyak kemajuan sehingga nilai fundamentalnya akan lebih tinggi. Karena itu, dari Satelindo saja diprediksi ada kontribusi nilai minimal Rp 14 ribu per saham terhadap setiap lembar saham Indosat. Dengan demikian, dalam perhitungan SP Indosat, Meneg BUMN telah memberikan gratis seluruh bisnis dan lisensi usaha Indosat berikut 20 lebih anak perusahaan lainnya. Sehingga, diperkirakan negara mengalami kerugian lebih dari Rp 1,8 triliun dari dua divestasi saham Indosat itu.
6. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dihubungkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal terkait Privatisasi Indosat
Berkaitan dengan privatisasi dan merger perusahaan telekomunikasi, KPPU mengharapkan pemerintah tidak melakukan penjualan kepada pelaku usaha yang juga telah memiliki perusahaan telekomunikasi di Indonesia agar tidak mereduksi terjadinya persaingan usaha. Khusus mengenai privatisasi perusahaan telemokunikasi, kepemilikan Temasek pada perusahaan telekomunikasi di Indonesia menimbulkan masalah dari segi hukum persaingan usaha. Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat menyatakan ’Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat.’ Memang ketentuan itu tidak menjelaskan apa ukurannya suatu pengambilalihan saham sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat. Namun ada beberapa parameter penilaian yang dapat diuji terkait dengan tindakan Temasek tersebut untuk posisi 2002.
Pertama, penguasaan pasar di bidang telekomunikasi. STT, yang seluruh dimiliki oleh Temasek yaitu badan usaha milik pemerintah Singapura, pada Juli 2002 bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik. Dalam pengembangan jaringan globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli Equinix dan Pihana Pasific. Keduanya adalah penyelenggara internet business exchange (IBM) sedang Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange data center di Asia Pasific. Kemudian pada Desember 2002 STT dinyatakan sebagai pemenang atas divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94%. Selain itu, melalui Singtel sebagai perpanjangan tangannya Temasek juga memilliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel yang merupakan anak perusahaan dari PT Telkom Tbk. Sehingga dengan menguasai Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana Pasific dan Equinix, berarti Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi dunia.
Kedua, soal posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Setelah diketahui bahwa Temasek menguasi pasar di bidang telekomunikasi dan struktur kepemilikan saham Temasek diatas, maka dapat dikatakan Temasek berada dalam posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Karena, dengan menguasai mayoritas kepemilikan saham di bidang telekomunikasi itu, Temasek dapat mendominasi susunan anggota direksi dan komisaris. Akibatnya, Temasek berada dalam posisi sentral untuk mendorong dan mengarahkan rencana dan strategi perusahaan-perusahaan terkait. Keadaan demikian sangat berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan yang tidak sehat. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dituangkan dalam Shareholder Agreement dalam divestasi saham PT Indosat Tbk. Disebutkan bahwa dalam pemilihan dewan komisaris dan direksi ditetapkan berdasarkan simple majority. Akibatnya, Kementrian Negara BUMN sebagai kuasa pemegang saham seri A atau saham golden share namun memiliki jumlah kepemilikannya kecil hanya dapat mencalonkan komisaris dan direksi masing-masing hanya satu orang. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifnya kepemilikan atas saham seri A tersebut dan seberapa besar pengaruh satu orang direksi atau komisaris yang dicalonkan oleh Kementrian BUMN tersebut untuk dapat mengubah kebijakan PT Indosat Tbk tersebut apabila bertentangan dengan kebijakan dari STT?
Meskipun sebagai pemegang saham seri A Kementrian BUMN memiliki hak veto, tetapi dengan komposisi kepemilikan yang kecil tersebut dan pemilihan dewan komisaris dan dewan direksi ditentukan dengan simple majority, hak veto itu sulit untuk dapat dilaksanakan. Karena, memiliki saham golden share tanpa menjadi pemegang saham mayoritas maka saham golden share tersebut menjadi tidak berarti karena haknya hanya untuk pencalonannya satu orang direksi dan komisaris, pada akhirnya yang memutuskan adalah RUPS dengan simple majority.
Ketiga, analisa atas potensi kerugian akibat tindakan pengambilalihan saham PT Indosat tersebut. Divestasi sebesar 41,94% saham PT Indosat Tbk tersebut, menimbulkan potensi kerugian bagi Indonesia karena harga penjualan saham tersebut jauh di bawah nilai strategis PT Indosat Tbk. Adapun nilai strategis PT Indosat Tbk antara lain:
a. Indosat sebagai pemegang lisensi frekuensi GSM selular dengan total 15 Mhz paling besar dibandingkan dengan Telkomsel dan Exelcom sebesar 12,5 Mhz;
b. Lisensi yang dimiliki oleh Indosat Group adalah seluler, telepon lokal, telepon SLJJ, telepon SLI 001dan 008, satelit, Network Access Point Internet, VOIP 2 buah, TV kabel dan multimedia;
c. Pelanggan Indosat terdiri dari:
(1) 3,1 juta pelanggan seluler Satelindo;
(2) 500.000 pelanggan IM-3
(3) 100% pelanggan SLI 001 (Indosat) dan 008 (Satelindo);
(4) Pelanggan Lintasarta, IM2 meliputi komunikasi data, internet, multimedia, 75% jaringan perbankan Indonesia, 30.000 pelanggan internet IM2, 300 pelanggan TV kabel IM2
d. Perangkat teknologi:
(1) 4 sentral gerbang teknologi
(2) 2 stasiun kabel laut internasional
(3) 5 stasiun bumi satelit
(4) Satelit palapa (untuk domestik), Intelsat & Inmarsat (untuk internasional)
e. Dari segi geografis, negara Indonesia diklasifikasikan sebagai space power state artinya negara yang berpotensi menjadi negara ruang angkasa sebagai suatu negara kepulauan memiliki kekayaan alam yang melimpah, keadaan cuaca yang positif dan memiliki laut pedalaman yang luas. Belum lagi penduduk yang besar sehingga berpotensi untuk pasaran telekomunikasi.
f. Kemudian Indonesia negara yang dipotong oleh garis khatulistiwa sehingga berada dibawah geo stationary orbit (GSO) berjarak kurang lebih 360.000 km dari permukaan bumi merupakan tempat yang efisien dan ekonomis untuk meletakkan satelit telekomunikasi karena bebas dari pengaruh negatif seperti gempa bumi, badai listrik, tanah longsor. Satelit Indosat mempunyai kedudukan di GSO di atas Indonesia dan mempunyai nilai dari segi ekonomis, budaya, strategi keamanan, pertahanan dan masa depan pembangunan bangsa Indonesia. Dengan adanya satelit Indosat memudahkan untuk mengakses informasi mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan sehingga dapat dikatakan: “who controls Indosat, controls not only Indonesia but the whole South East Asia” (Priyatna Abdurasyid, 2003).
Keempat, analisa peraturan terkait dengan privatisasi. Ketentuan tentang privatisasi yang dikeluarkan oleh Kementrian BUMN dan PP No. 30 tahun 2002 tentang Penjualan Saham Milik Negara Republik Indonesia pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indosat Tbk, mensyaratkan kriteria calon investor adalah:
a. pihak yang bukan merupakan:
i. operator telekomunikasi yang berdomisili hukum di Indonesia dan dimiliki oleh Pemerintah RI sebesar 25% atau lebih dari saham yang ditempatkan dalam pihak ini;
ii. anak perusahaan dari pihak (1) di atas yang memiliki ijin penyelenggaraan bisnis seluler bersifat nasional;
iii. anak perusahaan dari pihak (1) dan (2) di atas;
iv. pemilik saham mayoritas (lebih dari 25%) atas pihak (1) dan (2) diatas;
b. memiliki total asset atau dana dalam pengelolaan berdasarkan laporan keuangan terbaru minimal US$ 450 juta;
c. memiliki pengalaman signifikan sebagai operator dan/atau investor dalam bidang telekomunikasi dan/atau dapat menunjukan bahwa pihak tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi dalam bidang telekomunikasi.
Mengingat STT dimiliki 100% oleh Temasek dan Temasek juga memiliki 100% atas Singtel dimana Singtel sebagai salah satu pemegang saham dari PT Telkomsel sebagai anak perusahaan dari PT Telkom Tbk, sebagai salah satu operator telekomunikasi di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan Temasek sebagai pemegang saham ganda di dua operator telekomunikasi dan menguasai industri telekomunikasi di Indonesia.
Berdasarkan analisa di atas, maka dapat dikatakan pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek selaku pelaku usaha dalam bidang telekomunikasi mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat di industri telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan kajian atas tindakan Temasek tersebut khususnya hubungan STT dengan Temasek yang menguasai 35% saham di PT Telkomsel. Salah satu kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999): ”KPPU berwenang melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar undang-undang’.
Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No. 5/1999 adalah penetapan pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek. Selain itu, pelanggaran atas Pasal 28 juga diancam dengan pidana denda dan pidana tambahan sebagaimana dalam Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 49 UU No. 5/1999 pidana denda minimal Rp. 25 milyar dan maksimal Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda maksimal 6 bulan dan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT atas saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat melanggar UU No. 5/1999 sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. UU No. 5/1999 memang dirancang untuk mengoreksi tindakan dari pelaku ekonomi yang memiliki posisi yang dominan kaena mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha tersebut. Selain itu maksud dari diadakannya privatisasi adalah untuk mendorong persaingan yang sehat bukannya untuk memonopoli usaha dibidang telekomunikasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, huala dan A. Chandrawulan. 1995. Masalah-masalah hukum dalam perdagangan
internasional. Jakarta Rajawali.
Adolf, huala. 2004. Perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional
(WTO). Jakarta Rajawali.
Anoraga,Pandji. 1994. Perusahaan multinasional dan penanaman modal asing. Semarang.
Pustaka jaya.
Bastian Indra. 2007. Privatisasi di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat.
Salam HS dan Budi Sutrisno.2008. Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta. PT Raja Grafindo
Indonesia.
Sunarjati hartono. 1972. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing,
Bandung, Binacipta.
Majalah Usahawan No. 02 Th. XXIX, Februari 2000
www.tempo.com
www.republika.com
www.hukumonline.com
www.kompas.com
www.bappenas.go.id
UU No 1 tahun 1967 tentang PMA.
UU No 11 tahun tentang perubahan dan tambahan UU no 1 tahun 1967 tentang PMA.
UU No 12 tahun 1970 tentang perubahan dan tambahan UU no 6 tahun 1968 tentang PMDN.
UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
UU No 6 tahub 1968 tentang PMDN.
Indra Bastian.2007. Privatisasi di Indonesia Teori dan Implementasi. Jakarta, Salemba Empat.
UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN pasal 1 ayat 12
Artjan, M. Faisal, “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”, Majalah Usahawan No. 02 Th. XXIX, Februari 2000
www.tempo.com
www.tempo.com
www.republika.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar