Senin, 26 September 2011

HARDIKNAS


Pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Waah sekilas membaca kalimat ini, sungguh “dewa” sekali maknanya tapi miskin dalam realita pendidikan. Apalagi jika dilanjutkan lagi dengan membaca isi Pasal 3 UU tersebut yang menyatakan. “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap keatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Waahh saya seakan-akan tidak sedang berada di Indonesia ketika membaca bagian ini karena realitanya tidak seperti itu yang terjadi di Republik ini.
Baru-baru ini kita dihebohkan oleh berita bahwa perekrutan anggota NII dilakukan di kampus-kampus yang nota bene menjadi pusat “pembentukan” karakter bangsa, hal ini sebagai bukti real bahwa tujuan pendidikan di kampus sudah lumpuh dan hampir hilang dipengaruhi oleh gerakan radikal. Bahkan gejala sosial yang berkembang saat ini adalah tawuran pelajar, bentrok antar kampong, korupsi dan kolusi, demo dengan pengrusakan fasilitas umum, pembobolan atm/rekening nasabah, dan berbagai perbuatan amoral lainnya.
Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi kantor kemdiknas dan saya perhatikan di beberapa sudut ruangan poster yang bertuliskan “PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA” sebagai jargon Hardiknas tahun ini. Saya kira itu sangat bagus, tapi kembali lagi jangan hanya menjadi wacana dan nol dalam tahap implementasi. Pendidikan karakter bangsa tidak akan pernah bisa terbentuk hanya dengan pengadaan seminar-seminar yang dibuat oleh kemdiknas, saya kira program-program yang dibuat harus membumi dan menjadi mudah dalam tahap implementasi oleh segenap pihak yang berkepentingan dalam dunia pendidikan. Jika mengacu pada tujuan pendidikan UU SISDIKNAS diantaranya, membentuk “akhlak mulia” dan “kekuatan spiritual keagamaan”, bagaimanakah kita mendefenisikan satuan tujuan tersebut? Bagaimanakah kiranya kondisi seseorang yang memiliki akhlak mulia? Siapakah gerangan di negara ini yang memiliki akhlak mulia dan kekuatan spiritual keagamaan? Menuangkan pemikiran dalam tahapan konsep dan menuliskannya begitu gampang, tapi siapakah yang bertanggungjawab dalam implementasi program? Implikasinya adalah bahwa pemangku kepentingan belum merancang, melaksanakan, mengevaluasi, dan memperbaiki program penyelenggaraan pendidikan karakter bangsa.
Untuk itu melalui tulisan singkat ini ada beberapa point usulan yang saya ajukan yaitu:
1.    Upaya pemerintah yang bertujuan membentuk karakter bangsa saya kira belum optimal, tapi hal ini perlu didorong demi mencapai Indonesia yang lebih baik;
2.    Kesadaran tentang perlunya membangkitkan kembali karakter bangsa yang lebih kokoh dan sesuai dengan jati diri bangsa sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 harus segera digalakkan;
3.    Kewenangan penyelenggaran pendidikan di daerah diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan daerah dan Indonesia pada umumnya dalam menghadapi persaingan global;
4.    Perlu ada sinergi yang kuat antara Pemerintah Pusat dan daerah dalam perencanaan dan penguatan pendidikan karakter, dan mewujudkan peran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Tidak ada komentar:

Translate
TINGGI IMAN - TINGGI ILMU - TINGGI PENGABDIAN

Visitor