Pengalaman tidak pernah salah.
Yang dapat salah hanyalah penilaian kita.
(Leonardo da Vinci, Pelukis, seniman, penemu Italia)
Musibah, kata orang, sesungguhnya adalah keberuntungan yang tersembunyi, pintu ke langkah yang lebih baik. Blessing in disguise. Dan langkah hidup Umar Manik mungkin tepat disebut begitu.
Tahun 1984, Umar Manik merasa amat patah. Hotel tempat dia berkerja, di Parapat, tiba-tiba beralih manajemen. Pengelola baru mengharuskan semua karyawan minimal berijasah SMA. Padahal pendidikan Manik cuma sampai kelas 3 SD. Ia di-PHK dengan hanya mendapat pesangon 3 bulan gaji.
Manik merasa buntu. Setengah frustasi, ia membawa anak istrinya ke hutan di atas Sibaganding. Di sana dia mencoba bertani, merambah semak, mencangkul, dan menanam tanaman yang kiranya bisa menyambung hidup.
Apa yang terjadi? Saat mencoba menanam jelok alias labu kuning, segerombolan monyet datang merusak. Manik marah, mengusir dan melempari gerombolan itu dengan batu. Aneh, tahu-tahu malamnya ia bermimpi didatangi seorang tua. “Kenapa kau usir monyet itu? Ini tempat mereka,” tegur si Kakek.
Manik jadi mikir. Benar juga. Di hutan itu, justru dia yang pendatang. Perlahan, ia mencoba berdamai dan mendidik si monyet-monyet. Mereka tidak mengganggu tanaman, dan untuk itu Manik memberi hadiah. Jika hari sudah sore, Manik meniup terompet yang dibuat dari tanduk kerbau, dan gerombolan monyet itu datang berhamburan. Lantas Manik memberi mereka pisang, atau buah lain yang ada.
Persahabatan Umar dengan monyet-monyet itu, akhirnya sampai ke masyarakat sekitar. Mereka menilai Manik narittik, alias gila. Betapa tidak? Ia dan keluarganya hidup prihatin, tinggal seadanya di gubuk berlantai tanah, berdinding topas, tapi malah memberi makan ratusan monyet. Ditambah lagi, Manik suka marah, mengejar dengan golok terhunus kalau ada yang menggangu atau coba memburu anak monyet.
Tapi Manik tidak perduli disebut rittik. Ia menghormati perdamaiannya dengan alam. Tahun 1989, hutan pelarian Manik mulai ramai dikunjungi orang, yang ingin melihat “sahabat-sahabat” Manik. Bukan hanya pengunjung lokal, juga wisatawan mancanegara, yang memang banyak berkeliaran sekitar Danau Toba. Konon, satu hari bisa 100 lebih rombongan kunjungan, sampai makan pun kadang Manik tak sempat.
Manik senang. Tapi keberuntungan itu tiba-tiba berbalik arah jadi bencana. Tiba-tiba ada isu ia menanam ganja, karena setiap hari ada mobil pick-up keluar-masuk kebunnya. Manik pun didatangi Polisi. Padahal pick-up itu hanya mengantar pisang-pisang “belanjaan” para monyet. Tidak hanya itu. Mungkin karena melihat keberadaan monyet-monyet Sibaganding potensial untuk pemasukan rupiah, oknum pemerintah setempat dengan segerombolan jajarannya, berusaha mengusir Manik. Ia dianggap tidak berhak tinggal di sana. Gubuk tempat ia berteduh harus dibongkar.
Manik sangat sedih dan kembali tersuruk dalam rasa buntu. Tapi Tuhan mengirimkan teman. Beberapa pihak, seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan hak asasi datang memberi dukungan. Bersama-sama mereka membuat petisi ke instansi pemerintah terkait, agar tidak mengusik Manik. Akhirnya Manik kembali dipercaya mengelola tempat tersebut.
Kini, 20-an tahun sudah Manik dan keluarganya mendedikasihan hidup menjadi pengasuh sekaligus pawang monyet-monyet yang bermukim di hutan Sibaganding. Hutan lindung itu kini secara resmi masuk agenda wisata di sekitar Danau Toba. Jalan setapak ke arah lokasi juga dibenahi.
Menurut Manik, monyet asuhannya ada 13 kelompok. Satu kelompok ada yang mencapai 100 ekor, dan setiap kelompok dipimpin 5 ekor babon (induk). Meski wajah monyet hampir sama, Manik mengenali mereka. Beberapa monyet pemimpin kelompok diberi nama, seperti Bruno, Mike Tyson, si Duda, dan sebagainya untuk memudahkan mengenali kelompok masing-masing.
Begitu cinta Umar Manik pada asuhannya, konon, di punggungnya ada tato yang bertuliskan, lebih baik dia berpisah dengan anak istri, daripada pisah dengan monyet-monyetnya. Wah! Meski begitu, Manik tidak menganggap monyet-monyet itu milik pribadinya. “Mari kita lestarikan itu semua, untuk warisan anak cucu kita,” katanya.
Dalam konteks falsafah hidup orang Batak, yang mengejar hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur), dan hasangapon (kehormatan dan kemuliaan), barangkali Umar Manik memang tergolong “rittik”. Nyentrik. Nggak keren. Tapi, seperti kata Leonardo da Vinci, pengalaman tidak pernah salah. Kalau melihat dari kacamata lingkungan hidup – rasa bersahabat dengan alam pemberian Tuhan – jalan hidup yang dipilih ompung Manik ini unik… dan mengharukan! Ndang i do? *
Hmmm..Nice Story..
BalasHapusMemang marga Manik selalu membawa kebaikan bagi makhluk hidup disekitarnya. Kecuali 1..sebab ada seorang dari Clan Manik yang akan memberontak dan menjadi pelopor Revolusi pemusnahan adat Batak,,
PS: Postingan Anda bagus tapi alangkah lebih baiknya kalau Postingan kita adalah hasil kutipan dari sumber lain, sebaiknya ditulis sumbernya.
Seperti: http://tokohbatak.wordpress.com/page/4/?archives-list=1
bukan begitu Saudara Mekar? Mahasiswa Hukum hrs selalu menjunjung kode etik pengutipan bukan?
Sahabat Seiman: Romi Jonathan.
Oke..
BalasHapusTks buat masukannya Bror..
btw, udah Sidang TA kau kan??
aku agak bermasalh ini bahh..